imam Thabrani dan kitab mu’jam Ash-shagir

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang

Hadits merupakan perkataan sesuatu ilmu yang menerangkan segala yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau,[1] yang mana juga yang menjadi sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Namun di satu sisi hadits berbeda dengan Al-Qur’an, yaitu yang membedakan ialah karena Al-Qur’an telah dihimpun dalam satu mushaf pada zaman sahabat sedangkan hadits tidak. Pada masa sahabat hingga tabi’in hadits hanya disampaikan dan diajarkan tanpa ada pangumpulan teks-teks hadits dalam satu mushaf atau kitab.

Hal ini berlanjut hingga sekitar abad 1-2 H di mana para ‘ulama mutaqaddimin mulai melakukan perjalanan, mujahadah, serta riyadhah dalam mengumpulkan sabda Nabi. Dari para ulama di bidang hadits bermunculan nama-nama besar yang sangat terkenal akan jasa mereka dalam mengumpulkan hadits. Antara lain mereka yang masuk dalam kategori kutub sittah.

Tapi tidak dipungkiri di luar nama-nama mereka yang masyhur dalam kutub sittah dan tis’ah masih banyak ulama-ulama lain yang juga mengumpulkan hadits-hadits dan menyusunnya dalam kitab-kitab mereka. Salah satunya ialah Imam Thabrani dengan kitab-kitab mu’jam (hadits) nya dan yang paling termasyhur ialah mu’jam al-shagir. Oleh karena itu dalam tulisan singkat ini kami mencoba menjabarkan tentang Imam Thabrani dan kitab mu’jam al-shagir-nya.

 

  1. Rumusan masalah
    1. Bagaimana biografi dan kehidupan Imam Thabrani?
    2. Apa saja karya-karya Imam Thabrani?
    3. Bagaimana metode penyusunan kitab mu’jam al-shagir?
    4. Bagaimana pandangan ulama tentang kitab mu’jam al-shagir?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Biografi dan kehidupan Imam Thabrani

Imam Thabrani lahir di ‘Akka pada tahun 260 H. Ia telah belajar pada usia 13 tahun di beberapa kota seperti syam, hijaz, baghdad, kufah, bashrah  dll. Ia meriwayatkan hadits dari 1000 masyaikh atau lebih.

Imam Thabrani awalnya belajar pada tahun 273 H pada usia 13 tahun. Ia di ajak rihlah oleh ayahnya, belajar padanya, karena ayahnya sendiri meupakan shohibul hadits. Awal rihlah (perjalanan) beliau pada tahun 275 H, dan dalam sisa perjalanannya ia bertemu dengan para rijal hadits selama 16 tahun.[2]

Berkata Abu ‘Abbas Asy-syiraazi:  saya menulis 3000 hadits dari Thabrani dan itu semuanya tsiqoh. Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-mizan, bahwa tabrani dalam riwayatnya tidak ada yang sendiri لم ينفرد بحديث

Setelah bertahun-tahun lamanya beliau dalam pengembaraan dan paralawatan ke beberapa negeri, maka beliaupun menyusun tiga buah kitab hadits yakni al-Mu’jam al-Shagiral-Mu’jam al-kabir dan al-Mu’jam al-ausat.[3] 

Al-Thabrani juga mengunjungi Asfahan pada tahun 290 H. Setelah menyelesaikan studinya ke berbagai wilayah, beliau kembagi lagi ke Asfahan, dan menetap di sana sampai akhir hanyatnya selama lebih dari setengah abad. Al-Thabrani meninggal di Asfahan pada 28 Zulqa’idah tahun 360 H dalam usia seratus tahun sepuluh bulan. Beliau dimakamkan di samping kubur Hamamah al-dausi, seorang sahabat Rasulullah Saw. [4]

Guru-guru beliau cukup banyak, bahkan menurut catatan al-Zahabi mencapai lebih sari seribu orang. Diantaranya adalah Hasyim bin Murtsid al-Thabrani, Ahmad bin Mas’ud al-Khayyat, ’Amr bin Abi Salmah al-Tunisi, Ahmad bin ’Abdillah al-Lihyani, ’Amr bin Tsaur, Ibrahim bin Abi Sufyan, Abi Zur’ah al-Dimasyqi, Ishaq bin Ibrahim al-Dabiri, Idris bin Ja’far al-’Athar, Basyar bin Musa, Hafsh bin Umar, ’Ali bin ’Abdil ’Aziz al-Bagawi, Miqdam bin Dawud al-Ru’Yani, Yahya bin Abi Ayyub al-’Allaq, ‘Abdullah bin Muhammad bin Sa’id bin Abi Maryarn, Ahmad bin ‘Abdul Wahhab al-Hauthi, Ahmad bin Ibrahim bin Fil al-Balisi, Ahmad bin Ibrahim al-Busri, Ahmad bin Ishaq bin Ibrahim bin Nabith al-Asja’i dan lain-lain.

Sedangkan rnurid-muridnya antara lain; Ahmad binMuhammad bin Ibrahm al-Sahhaf, Ibn Mandah, Abu Bakar bin Mardawih, Abu ‘Umar Muhammad bin al-Husain al-Basthami, Abu Nu’aim al-Ashbahani, Abu al-Fadhl Muhammad bin Ahmad al-Jarudi, Abu Sa’id al-Naqqas, Abu Bakr bin Abi ‘Ali al-Dzakwani, Ahmad bin ‘Abdirrahman al-Azdi, Abu Bakar Muhammad bin Zaid dan lain sebagainya Al-Thabrani juga mempunyai beberapa guru yang pada kesempatan lain rneniadi muridnya, di antaranya Abu Khalifah al-Jumahi dan al-Hafidh ibn ‘Uqdah.

Beberapa ulama telah mernberi komentar terhadap pribadi al-Thabrani. Al-Hafidh Abu al-‘Abbas ibn Mansur al-Syirazi mengemukakan bahwa dirinya telah menulis 300.000 hadis dari al-Thabrani dan ia tsiqah. Sedangkan menurut Abu Bakar bin Abi ‘Ali bahwa al-Thabrani orang yang terkenal ilmunya, pengetahuannya luas dan banyak karya-karyanya, dan konon di akhir hayatnya ia buta. Sedangkan menurut Sulaiman bin Ibrahim, al-Thabarani adalah seorang penghafal hadis sekitar 20.000 sampai 40.000 hadis.

Adapun menurut Abu ‘Abdillah ibn Mandah bahwa al-Thabrani adalah salah satu penghafal yang sangat terkenal. Sedangkan menurut Abu al-Husain Ahmad bin Faris al-Lugawi yang dinisbatkan kepada Ibn al-Amid, al-Thabrani dalam hal hafalan lebih unggul dibanding al-Ji’abi, sedangkan Abu Bakar sendiri lebih unggul dari pada al-Thabrani dalam hal kepintaran dan kecerdasannya.

Dari penilaian para ulama di atas menunjukkan bahwa mayoritas ulama mengakui keadilan dan kapasitas intelektual yang tinggi terhadap al-Thabarani. Sehingga sebagai karir puncaknya dalam bidang hadis al-Thabrani meraih gelar al-Hafid, suatu gelar ahli hadis dalam level yang cukup tinggi.[5]

Imam Thabrani wafat pada tahun pada bulan Dzulqa’dah 360 H dalam usia 100 tahun 4 bulan.[6]

 

  1. Karya-karya Imam Thabrani

Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa at-Thabrani adalah ularna yang mempunyai atensi cukup besar dalam pengembangan ilmu, yang mengantarkannya menjadi ulama yang sangat produktif. Di antara karya-karya tersebut adalah :

1. Musnad al-Asy’ari

2. Musnad al-Syamiyyin

3. Al-Nawadir

4. Fawa’id

5. Musnad Abu Hurairah

6. Musnad ‘Aisyah

7. al-Tafsir

8. Du’a

9. Dala’il al-Nubuwwah

10. Ahadits al-Tiwal

11. Musnad Syu’bah

12. Hadis A’masy

13. Hadis Auza’i

14. Hadis Syaiban

15. Hadis Ayyub

16. ‘Asyrah al-Nisa’

17. Musnad Abu Zar

18. Al-Ru’yah

19. Al-Jud

20. Fadl Ramadan

21. Al-Fara’id

22. Al-Radd ‘ala al-Mu’tazilah

23. Al-Salih ‘ala al-Rasul

24. Ahadis Zuhri min Anas

25. Ahadis Ibn al-Munkadir ‘ala al-rasul

26. Hadis man Kadzab

27. Akhbar ‘Uma ‘il

28. Kitab al-Sunnah

29. Al-Ramy

30. Al-Manasiik

31. Ma’rifah al-Sabahab

32. Al-‘Ilm

33. Fad al-‘Arab

34. Manaqib Ahmad

35. Kitab al-Asyribah

36. Kitab al-Uluwiyah fi Khilafah Abi Bakr wa ‘Umar

Dari sekian banyak karya al-Thabrani yang paling popular atauterkenal adalah ketiga Mu’jam-nya, yaitu al-Mu’jam al-Kabir, al-Mu’jam al-Ausat, dan al-Mu’jam al-Sagir.

Beberapa hal sebab terkenal dan populer adalah Pertama, kitabal-Mu’jam al-Kabir. Kitab ini disusun berdasarkan musnad-musnad sahabat sesuai dengan urutan huruf hija’iyyah, kecuali Musnad Abu Hurairah yang telah disusun dalam kitab tersendiri. Kitab ini memuat 60.000 hadits. Oleh karena itu Ibnu Dihyah berpendapat, kitab mu’jam ini merupakan kitab mu’jam yang terbesar di dunia. Jika dikatakan mu’jam secara umum dalam istilah ahli hadis, maka yang dimaksud adalah al-Mu’jam al-Kabir[7]

Para ulama hampir sependapat bahwa kitab  al-Mu’jam al-Kabir adalah sebuah kitab mu’jam terbesar dan kitab rujukan yang lengkap. Karena kemasyhurannya kitab ini disebut dengan nama yang mutlak, al-Mu’jam, atau dalam menyandarkan hadis-hadisnya para ulama cukup menyatakan akhrajahu al-Thabrani.[8] Kitab al-Mu’jam al-Kabir ini terdiri dari 12 jilid dan merupakan ensiklopedi hadits yang memuat tidak hanya hadis-hadis Nabi SAW tetapi juga berisi sejumlah banyak informasi historis. Kitab ini mengabsorsi baik secara keseluruhan maupun parsial dari beratus-ratus kitab karya terdahulu. Kitab ini dipublikasikan setelah edisi kritis, Beberapa perpustakaan menyimpan jilid yang berbeda dari karya ini, namun saat sekarang adalah sulit untuk mengatakan bahwa apakah kitab tersebut sudah sempurna atau tidak.

Kedua, kitab al-Mu’jam al-Ausat. Kitab ini disusun berdasarkan nama-nama guru al-Thabrani yang hampir mencapai 2000 orang, dan di dalamnya terdapat 30.000 hadis. Kitab ini memuat hampir seluruh informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan hadis-hadis. Banyak diantaranya yang shahih, sedangkan lainnya tidak shohih. Karya kedua ini telah rampung dalam dua jilid sangat besar di Istambul dan masih perlu pengeditan dan penerbitan.

Ketiga, karya al-Thabrani yang paling mini dalam seri kitab mu’jim adalah al-Mu’jam al-Shagir. Kitab ini meriwayatkan hadis dari setiap guru, dan kebanyakan hanya diambil satu hadis dari setiap guru. Di dalam kitab ini al- thabrani mengabadikan sebuah hadis dari setiap orang yang hadisnya diriwayatkan atau guru-gurunya.

 

  1. Kitab Mu’jam Al-Shaghir

Penggunaan kata mu’jam dalam arti kamus, hingga kini belum diketahui secara pasti sejak kapan istilah mu’jam dipahami untuk menyebut kamus. Juga tidak diketahui siapa orang pertama yang berhasil mempopulerkan istilah mu’jam. Ketidakjelasan informasi ini diakibatkan hilangnya beberapa karya tulis dari khazanah peradaban Arab kuno akibat rusak, hilang, atau peperangan sehingga sulit untuk dilacak. 

Informasi yang kini bisa dipahami adalah bahwa pada awalnya, istilah mu’jam dipopulerkan oleh para ulama hadits, bukan para ulama bahasa. Pendapat ini dapat dibuktikan dengan adanya akarya-karya ulama hadits yang mencantumkan kata mu’jam atau member judul buku mereka dengan menggunakan kata mu’jam. Misalnya, Imam Bukhari (810-870 H) yang dalam kitabnya shahih Bukhari, mencantumkan sebuah bab yang ia beri judul “Bab tentang nama-nama sahabat perang Badar sebagaimana termuat di dalam kitab Al-Jami’ yang ditulis oleh Abu Abdillah dengan menggunakan huruf mu’jam”.

Menurut Dr. Husain Nashshar, istilah mu’jam diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang ahli hadis bernama Abdul Qasim Abdullah bin Muhammad Al-Baghawi melalui kedua kitabnya yang berjudul “almu’jam al-Kabir” dan “al-Mu’jam al-Shaghir”. Kedua kitabnya ini juga memuat nama-nama para sahabat yang menjadi perawi hadits.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa sebuah buku yang memuat nama-nama secara berurutan sesuai alfabetis dan disertai informasi terkait dengan nama itu, menurut ulama hadits telah layak disebut “Mu’jam” yang kini lebih akrab dinamakan buku direktori (al-Kitab al-Mursyid). Bahkan bukan hanya buku yang terbatas pada penyebutan nama orang saja yang disebut mu’jam. Lebih dari itu, sebuah buku yang memuat nama-nama tempat atau informasi lain yang disusun secara alfabetis juga sering disebut mu’jam atau Ensiklopedia (mausu’ah/mu’jam). Di bidang telekomuikasi misalnya, juga muncul istilah Telephone Directory (Buku Petunjuk Telepon) yang dalam bahasa arab bisa juga disebut dengan mu’jam, “al-Mursyid” dan “Dalil”. Dengan kata lain, buku di bidang apapun, apabila memuat kumpulan kosakata yang disusun secara sistematis berdasarkan urutan huruf hijaiyah, maka ia bisa juga disebut mu’jam.

Selain menggunakan kata mu’jam, dalam bahasa arab sebuah kamus juga dikenal dengan sebutan Qomus. Menurut bahasa, Qomus berasal dari kata قمس yang berarti “menyelam”, “mencelupkan sesuatu ke dalam air”, “tenggelam”. Dahulu, kata Qomus diartikan “laut, samudera luas atau tempat tenggelamnya sesuatu”. Latar belakang pemakaian istilah Qomus untuk menyebut ‘kamus’, karena sebuah kamus memuat sejumlah kosakata, makna dan berbagai informasi lain yang jumlahnya tidak sedikit bahaikan lautan yang mengandung berbagai kekayaan bahari.

Para ulama tempo dulu, mereka berupaya mengkodifikasi semua kosakata bahasa arab kedalam karya karya mereka yang biasanya berukuran tebal dan berbentuk besar agar semua kosakata dan maknanya dapat tertampung disana. Motivasi ini yang mendorong mereka menyebut mu’jam (kamus) dengan istilah baru, yaitu Qomus.[9]

  • Ø metode penyusunan kitab mu’jam al-shaghir

kitab Al-Mu’jam al-Shagir karya al-Thabarani ini dicetak menjadi dua juz oleh Penerbit Dar a1-Fikr Beirut, cetakan keduapada tahun 1981 M atau 1401 H. Kitab ini terdiri dari 279 halaman untuk juz I, dan bagian akhir yang merupakan juz II terdiri dari 222 halaman termasuk lima tema tambahan, yaitu: Risalah Ganiyyah al-Alma’i oleh ‘Allamah al-Hafid Abi al-Tayyib Syams al-Haq al-‘Adim Abadi; al-Tuhfah al-Mardliyyah fi Hill Ba’dh d-Musykilat al-Hadisiyyaholeh ‘Allamah al-Muhaddis al-Qadhi al-Syaikh Husain bin Muhsin al-Anshari al-Yamani; Sunniyyah Raf’ al-Yadain fi al-Du’a ba’d al-Shalawat al-Maktubah liman Sya’a; Risalah al-Kasyf lil Imam al-Suyuti fi Bayan al-Khuruj al-Mahdi; dan Taqrid al-Adib oleh al-‘Allamah Yusuf Husain ibn Muhammad al-Khanifari. Kitab ini di-tashhih oleh ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsman dengan judul al-Mu’jam al-Shagir lil Tabarani lil Hafid Abi al-Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub al-Lakhmi al-Thabarani.

Menurut informasi dalam muqaddimah kitab ini, kitab ini disusun berdasarkan periwayatan muridnya yaitu al-Syaikh Abu Bakar Muhammad bin Abdillah bin Zaid, sehingga menjadi sebuah kitab yang sampai kepada kita.

Berdasar informasi yang dikemukakan Abu Zahw jumlah jalur hadis dalam kitab al-Mu’jam al-Shagir ini sebanyak 1500 hadis, sebagian ulama mengatakan kitab ini ternyata hanya memuat 1159 jalur periwayatan, dengan rincian juz 1 memuat 745 jalur periwayatan, dimulai dengan huruf alif sampai huruf kaf. Sedangkan juz II memuat 410 jalur periwayatan dimulai dari huruf lam sampai huruf ya’, ditambah perawi dengan nama kunyah dan perawi perempuan.[10]

 

Disamping itu juga salah satu karakteristik atau kelebihan dari kitab ini ialah setiap sanad diberi komentar antara hubungan guru-muridnya atau antara rowi yang satu dengan rowi berikutnya. Contoh:

حدثنا وصيف الأنطاكي الحافظ ، حدثنا سليمان بن سيف أبو داود الحراني ، حدثنا سعيد بن سلام العطار ، حدثنا عمر بن محمد بن صهبان المدني ، عن صفوان بن سليم ، عن أبي سلمة ، عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : « لقنوا موتاكم لا إله إلا الله ، وقولوا : الثبات الثبات ، ولا قوة إلا بالله » لم يروه عن صفوان بن سليم إلا عمر بن محمد[11]

 Salah satu kelebihan lagi dalam kitab ini adalah kadang-kadang juga diberi penilaian atas kualitas dari salah satu rowi dari jalur sanad tersebut. Contoh:

حدثنا يعقوب بن إسحاق بن الزبير الحلبي ، حدثنا عبد الرحمن بن عمرو الحراني ، حدثنا زهير بن معاوية ، عن أبي الزبير ، عن جابر بن عبد الله قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : « من قرأ قل هو الله أحد كل يوم خمسين مرة نودي يوم القيامة من قبره قم يا مادح الله ، فادخل الجنة » لم يروه عن أبي الزبير إلا زهير تفرد به عبد الرحمن وهو ثقة[12]

 

  1. Penilaian Ulama Terhadap Kitab Al-Mu’jam Al-Shagir

‘Abdul ‘Aziz al-Khuli di dalam kitab Miftah al-Sunnah menjelaskan bahwa kitab al-Mu’jam al-Thabarani merupakan kitab hadis yang memuat hadis shahih, hasan dan da’if. Ia mempunyai banyak guru dalam periwayatan hadis kira-kira 1000 orang guru, dan ia juga seorang hafid hadis. Dalam upaya mencari hadis ia sering berkelana dari satu negeri ke negeri lain, kemudian hadis yang ia peroleh disusun dan dikumpulkan menjadi sebuah kitab hadis yang sampai ada sekarang.

Seorang orientalis, Sezgin mengatakan bahwa kebanyakan karya al-thabarani kurang mendapat tempat pada awal kemunculannya. Sedangkan menurut Azami, kitab al-Mu’jam al-Shagir banyak terdapat kesalahan dan kitab ini tidak menarik perhatian para ulama modern. Namun Azami tidak menjelaskan letak kesalahan dan alasan-alasan tentang ketidak tertarikan para ulama modern tersebut.

Secara spesifik al-Thabarani memang tidak menyebutkan criteria atau kualitas suatu hadis yang ia cantumkan di dalam al-Mu’jam al-Shagir.[13]

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Imam Thabrani ialah orang yang tsiqoh dan banyak menghabiskan masa hidupnya dalam mengembara, melakukan rihlah demi untuk meriwayatkan hadits. Beliau telah mengelilingi banyak kota dalam mengumpulkan hadits. Imam Thabrani telah banyak menghasilkan banyak karya, dan dalam bidang hadits ada tiga karya yang masyhur yakni al-Mu’jam al-Shagiral-Mu’jam al-kabir dan al-Mu’jam al-ausat.

 

karya al-Thabrani yang paling mini dalam seri kitab mu’jim adalah al-Mu’jam al-Shagir. Kitab ini meriwayatkan hadis dari setiap guru, dan kebanyakan hanya diambil satu hadis dari setiap guru. Di dalam kitab ini al- thabrani mengabadikan sebuah hadis dari setiap orang yang hadisnya diriwayatkan atau guru-gurunya.

 

‘Abdul ‘Aziz al-Khuli di dalam kitab Miftah al-Sunnah menjelaskan bahwa kitab al-Mu’jam al-Thabarani merupakan kitab hadis yang memuat hadis shahih, hasan dan da’if.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

         

Software CD Maktabah Syamilah

Ash-Shiddieqy, Hasbie. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan-Bintang, 1980

____________, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (jilid II), Jakarta: Bulan-Bintang, 1981

Adz-Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. syi’ar a’lam an-nubalaa’, Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1413

Suryadi, Kitab Mu’jam Al-Shaghir Ath-Thabrani dalam STUDI KITAB HADITS, Yogyakarta: TERAS Press, 2009

As-Suyutthi, Abduurahman Bin Abi Bakar. Thobaqatul Huffazh, Beirut: Dar al-kutub al-‘alamiyah, 1403

Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadis I, Terj. Mujiyo, Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994

Taufiqurrahman, dalam http://arabic-site.blogspot.com/2012/03/asal-mula-kata-mujam.html, diakses tanggal 17-12-2013


[1] Hasbie Ash-Shiddieqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan-Bintang, 1980), hlm: 24

[2] Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi, syi’ar a’lam an-nubalaa’, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1413), juz 16 hlm 16

[3] Hasbie Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (jilid II), (Jakarta: Bulan-Bintang, 1981), hlm: 414

[4]Hasbie Ash-Shiddieqy,  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, hlm: 332.

[5] Suryadi, Kitab Mu’jam Al-Shaghir Ath-Thabrani dalam STUDI KITAB HADITS, (Yogyakarta: TERAS Press, 2009) hlm 263

[6] Abduurahman Bin Abi Bakar As-Suyutthi, Thobaqatul Huffazh, (Beirut: Dar al-kutub al-‘alamiyah, 1403) juz 1 hlm 73

[7]Al-Tahhan, Mahmud, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, Maktabah Ma’arif, Arab Saudi.

[8]‘Itr, Nuruddin, Ulum al-Hadis I, Terj. Mujiyo, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994), hlm 186.

[9] Taufiqurrahman, dalam http://arabic-site.blogspot.com/2012/03/asal-mula-kata-mujam.html, diakses tanggal 17-12-2013

 

[10] Suryadi, Kitab Mu’jam Al-Shaghir Ath-Thabrani dalam STUDI KITAB HADITS, (Yogyakarta: TERAS Press, 2009) hlm 269

[11] Ath-Thabrani, Mu’jam Al-Shaghir, dalam bab لقنوا موتاكم لا إله إلا الله  juz 3, hlm: 283

[12] Ath-Thabrani, Mu’jam Al-Shaghir, dalam bab من قرأ قل هو الله أحد كل يومj uz 3, hlm: 307

[13] Suryadi, Kitab Mu’jam Al-Shaghir Ath-Thabrani dalam STUDI KITAB HADITS, hlm 279-280

HADITS TENTANG UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN

HADITS TENTANG UPAYA PELESTARIAN LINGKUNGAN

Pembahasan Hadits Rosulullah S.a.w. tentang Lingkungan

Adapun mengenai hadits Rosulullah S.a.w tentang peduli lingkungan ini banyak sekali, salah satu diantaranya sebagai berikut :

  1. Larangan Menelantarkan Lahan

حَدِيْثُ جَابِرِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ رضى الله عنهما, قَالَ : كَانَتْ لِرِجَالٍ مِنَّا فُضُوْلُ اَرَضِيْنَ, فَقَالُوْا نُؤَاجِرُهَا بِالثُّلُثِ وَالرُّبُعِ وَالنِّصْفِ, فَقَالَ النَّبِىُّ ص.م. : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.

Hadist Jabir bin Abdullah r.a. dia berkata : Ada beberapa orang dari kami mempunyai simpanan tanah. Lalu mereka berkata: Kami akan sewakan tanah itu (untuk mengelolahnya) dengan sepertiga hasilnya, seperempat dan seperdua. Rosulullah S.a.w. bersabda: Barangsiapa ada memiliki tanah, maka hendaklah ia tanami atau serahkan kepada saudaranya (untuk dimanfaatkan), maka jika ia enggan, hendaklah ia memperhatikan sendiri memelihara tanah itu. “ (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)

Selain dari hadits diatas, ada juga bersumber dari Abu Hurairah r.a. dengan lafazd sebagai berikut :

حَدِيْثُ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قال: قال رسول الله عليه وسلم : مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْلِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ.(اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)

Antara kedua tersebut terdapat persamaan, yaitu masing-masing ditakhrijkan oleh Imam Bukhori. Sedangkan perbedaannya adalah sumber hadits tersebut dari Jabir yang diletakkan dalam kitab Al-Hibbah yang satunya bersumber dari Abu Hurairah dan diletakkan dalam kitab Al-Muzara’ah.

Dari ungkapan Nabi S.a.w. dalam hadits diatas yang menganjurkan bagi pemilik tanah hendaklah menanami lahannya atau menyuruh saudaranya (orang lain) untuk menanaminya. Ungkapan ini mengandung pengertian agar manusia jangan membiarkan lingkungan (lahan yang dimiliki) tidak membawa manfaat baginya dan bagi kehidupan secara umum. Memanfaatkan lahan yang kita miliki dengan menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan yang mendatangkan hasil yang berguna untuk kesejahteraan pemiliknya, maupun bagi kebutuhan konsumsi orang lain. Hal ini merupakan upaya menciptakan kesejahteraan hidup melalui kepedulian terhadap lingkungan. Allah S.w.t. telah mengisyaratkan dalam Al-Qur’an supaya memanfaatkan segala yang Allah ciptakan di muka bumi ini. Isyarat tersebut seperti diungkapkan dalam firman-Nya:

 

“ Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu semua.” (Qs. Al-Baqoroh : 29)

Dalam hadits dari Jabir di atas menjelaskan bahwa sebagian para sahabat Nabi S.a.w. memanfaatkan lahan yang mereka miliki dengan menyewakan lahannya kepada petani. Mereka menatapkan sewanya sepertiga atau seperempat atau malahan seperdua dari hasil yang didapat oleh petani. Dengan adanya praktek demikian yang dilakukan oleh para sahabat, maka Nabi meresponnya dengan mengeluarkan hadits diatas, yang intinya mengajak sahabat menanami sendiri lahannya atau menyuruh orang lain mengolahnya apabila tidak sanggup mengolahnya. Menanggapi permasalahan sewa lahan ini, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya.

Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan bahwa segolongan fuqoha tidak membolehkan menyewakan tanah. Mereka beralasan dengan hadits Rafi’ bin Khuday yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Muzara’ah :

اَنَّ النَّبِى ص.م. نَهَى عَنْ كَرَاءِ الْمَزَارَعِ. (رواه البخارى)

Bahwasanya Nabi S.a.w. melarang menyewakan lahan “ (HR. Bukhori)

Sedangkan jumhur ulama membolehkan, tetapi imbalan sewanya haruslah dengan uang (dirham atau dinar) selain itu tidak boleh. Ada lagi yang berpendapat boleh dengan semua barang, kecuali makanan termasuk yang ada dalam lahan itu. Berbagai pendapat yang lain seperti yang dikemukakan Ibnu Rusyd bahwa dilarang menyewakan tanah itu lantaran ada kesamaran didalamnya. Sebab kemungkinan tanaman yang diusahakan di atas tanah sewaan itu akan tertimpa bencana, baik karena kebakaran atau banjir. Dan akibatnya si penyewa harus membayar sewa tanpa memperoleh manfaat apapun daripadanya.

Terkait dengan hadits diatas, disini Rosulullah S.a.w. juga bersabda dalam kitab Al-Lu’lu’ wal Marjantentang menyerahkan tanah kepada orang untuk dikerjakan kemudian memberikan sebagian hasilnya :

حَدِيْثُ ابْنُ عُمَرَ رضى الله عنه, اَنَّ النَّبِىَ ص.م. عَامَلَ خَيْبَرَ بِشَرْطٍ مَايَخْرُجُ مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْعٍ, فَكَانَ يُعْطِى اَزْوَاجَهُ مِائَةَ وِسْقٍ: ثَمَانُوْنَ وِسْقَ تَمْرٍ, وَعِشْرُوْنَ وِسْقَ شَعِيْرٍ : فَقَسَمَ عُمَرُ خَيْبَرَ فَخَيَّرَ اَزْوَاجَ النَّبِىِّ ص.م. اَنْ يُقْطِعَ لَهُنَّ مِنَ الْمَاءِ وَالاَرْضِ اَوْ يُمْضِىَ لَهُنَّ فَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الاَرْضَ وَمِنْهُنَّ مَنِ اخْتَارَ الوَسْقَ, وَكَانَتْ عَائِشَةُ اخْتَارَتِ الاَرْضَ. (اخرجه البخارى)

Ibnu Umar r.a. berkata : Nabi S.a.w. menyerahkan sawah ladang dan tegal di khaibar kepada penduduk Khaibar dengan menyerahkan separuh dari penghasilannya berupa kurma atau buah dan tanaman, maka Nabi S.a.w. memberi istri-istrinya seratus wasaq (1 wasaq=60 sha’. 1 sha’ =4 mud atau 2 ½ Kg), delapan puluh wasaq kurma tamar, dan dua puluh wasaq sya’er (jawawut). Kemudian dimasa Umar r.a. membebaskan kepada istri-istri Nabi S.a.w. untuk memilih apakah minta tanahnya atau tetap minta bagian wasaq itu, maka diantara mereka ada yang memilih tanah dan ada yang minta bagian hasilnya berupa wasaq.” (HR. Bukhori)

2.      Penanaman Pohon (reboisasi) Langkah Terpuji

حَدِيْثُ اَنَسٍ رضى الله عنه قَالَ: مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ اَوْيَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْاِنْسَانٌ اَوْبَهِيْمَةٌ اِلاَّكَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ. (اخرجه البخارى فى كتاب المزاعة)

Hadits dari Anas r.a. dia berkata: Rosulullah S.a.w. bersabda : Seseorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan apa yang dimakan itu merupakan sedekahnya “. (HR. Imam Bukhori)

Pada dasarnya Allah S.w.t. telah melarang kepada manusia agar tidak merusak hutan, hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Baqoroh ayat 11 :

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَتُفْسِدُوْا فِى الاَرْضِ…

“ Dan apabila dikatakan kepada mereka : Janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi “

Dan ada lagi dalam surat Al-Baqoroh ayat 204-205:

“ Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafiq dan tindakannya di muka bumi ini. Informasi yang disampaikan Al-Qur’an bahwa sebagian dari manusia, kata-kata dan ucapannya tentang kehidupan dunia menarik sekali, sehingga banyak yang terpedaya. Ia pintar dan pandai menyusun kata-kata dengan gaya yang menawan. Orang munafiq seperti inilah yang selalu merusak bumi. Tanam-tanaman dan hutan-hutan menjadi rusak, lingkungan dicemari, buah-buahan dan binatang ternak dibinasakan. Apalagi kalau mereka sedang berkuasa, dimana-mana mereka berbuat sesuka hatinya.

Gambaran ayat ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 41-42 :

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).”

Pada ayat ini sudah jelas bahwa Allah telah memperingatkan tentang kerusakan yang terjadi di alam dunia ini, baik di darat, laut maupun udara adalah akibat ulah perbuatan manusia itu sendiri. Kerusakan di darat seperti rusaknya hutan, hilangnya mata air, tertimbunnya danau-danau penyimpan air, lenyapnya daerah-daerah peresap air hujan dan sebagainya. Kerusakan di laut seperti pendangkalan pantai, menghilangkan tempat-tempat sarang ikan, pencemaran air laut karena tumpahan minyak, dan lain sebagainya. Allah memperingatkan itu, karena dampak negatifnya akan dirasakan manusia itu sendiri.

Tidak sepantasnyalah alam ini dirusak karena ini merupakan salah satu karunia Tuhan, untuk itu seharusnyalah manusia harus memperbaiki dan memanfaatkannya, hal ini sebagaimana firman Allah S.w.t. dalam surat Al-An’am ayat 141-142 yang artinya:

“ Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Dan di antara hewan ternak itu ada yang dijadikan untuk pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. makanlah dari rezki yang Telah diberikan Allah kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Dekade terakhir ini, pemerintah Indonesia terus melancarkan program penghijauan. Oleh karena itu, dimana-mana kita akan melihat reklame dan promosi penghijauan, baik melalui media visual, maupun audio-visual. Promosi ini banyak terpajang di sudut-sudut jalan, dan tertempel di mobil-mobil dan lainnya yang mengajak kita menyukseskan program tersebut. Khusus Provinsi Sulawesi Selatan, pemerintahnya telah mencanangkan program penghijauan dengan tema “South Sulawesi Go Green” (Sulawesi Selatan Menuju Penghijauan). Sebagian orang menyangka bahwa program penghijauan bukanlah suatu amalan yang mendapatkan pahala di sisi Allah, sehingga ada diantara mereka yang bermalas-malasan dalam mendukung program tersebut. Kita mungkin masih mengingat sebuah hadits yang masyhur dari Nabi Saw. beliau bersabda:

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah seluruh amalannya, kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah (yang mengalir pahalanya), ilmu yang dimanfaatkan, dan anak shaleh yang mendo’akan kebaikan baginya”. [HR. Muslim dalam Kitab Al-Washiyyah (4199)]

Perhatikan, satu diantara perkara yang tak akan terputus amalannya bagi seorang manusia, walaupun ia telah meninggal dunia adalah SEDEKAH JARIYAH, sedekah yang terus mengalir pahalanya bagi seseorang. Para ahli ilmu menyatakan bahwa sedekah jariyah memiliki banyak macam dan jalannya, seperti membuat sumur umum, membangun masjid, membuat jalan atau jembatan, menanam tumbuhan baik berupa pohon, biji-bijian atau tanaman pangan, dan lainnya. Jadi, menghijaukan lingkungan dengan tanaman yang kita tanam merupakan sedekah dan amal jariyah bagi kita –walau telah meninggal- selama tanaman itu tumbuh atau berketurunan.

Al-Imam Ibnu Baththol –rahimahullah– berkata: “Ini menunjukkan bahwa sedekah untuk semua jenis hewan dan makhluk bernyawa di dalamnya terdapat pahala”. [Lihat Syarh Ibnu Baththol (11/473)]

 

Seorang muslim yang menanam tanaman tak akan pernah rugi di sisi Allah –Azza wa Jalla-, sebab tanaman tersebut akan dirasakan manfaatnya oleh manusia dan hewan, bahkan bumi yang kita tempati. Tanaman yang pernah kita tanam lalu diambil oleh siapa saja, baik dengan jalan yang halal, maupun jalan haram, maka kita sebagai penanam tetap mendapatkan pahala, sebab tanaman yang diambil tersebut berubah menjadi sedekah bagi kita.

Penghijauan merupakan amalan sholeh yang mengandung banyak manfaat bagi manusia di dunia dan untuk membantu kemaslahatan akhirat manusia. Tanaman dan pohon yang ditanam oleh seorang muslim memiliki banyak manfaat, seperti pohon itu bisa menjadi naungan bagi manusia dan hewan yang lewat, buah dan daunnya terkadang bisa dimakan, batangnya bisa dibuat menjadi berbagai macam peralatan, akarnya bisa mencegah terjadinya erosi dan banjir, daunnya bisa menyejukkan pandangan bagi orang melihatnya, dan pohon juga bisa menjadi pelindung dari gangguan tiupan angin, membantu sanitasi lingkungan dalam mengurangi polusi udara, dan masih banyak lagi manfaat tanaman dan pohon yang tidak sempat kita sebutkan di lembaran sempit ini. Jika demikian banyak manfaat dari REBOISASI, maka tak heran jika agama kita memerintahkan umatnya untuk memanfaatkan tanah dan menanaminya.

 

3.      Harmonitas Manusia, Hewan dan Tumbuhan

Manusia, harus mampu menjaga harmonitas segi tiga keseimbangan ekologi: dirinya (manusia), hewan dan tumbuhan. Manusia, seperti disinggung sebelumnya, adalah wakil Allah (khalīfah) di permukaan bumi (Qs. 2: 30). Karena sebagai khalīfah, maka dia harus bertanggungjawab terhadap apa yang dipimpinnnya, sebagai pengganti Allah dalam memelihara keseimbangan ekologi. Dia harus memahami fitrahnya yang mengerti maslahat dan kebutuhannya (Qs. 67: 14). Dengan akal yang diciptakan oleh Allah untuknya, dia bisa membekali diri dengan ilmu dan pengetahuan serta teknologi, supaya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dan melaksanakan tugasnya tersebut (Qs. 7: 74).

Dengan bekal itu semua, manusia harus tampil sebagai sosok yang ‘ramah lingkungan’. Dalam Islam, khalīfah adalah ‘manusia hijau’. Yaitu sosok yang benar-benar melindungi dan memelihara lingkungan hidupnya. Dalam hal ini, konsep ihsān dapat dijadikan sebagai landasan normatif-teologis dalam menciptakan harmonitas manusia dan lingkungan hidup.

Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh Imam Muslim disebutkan bahwa ihsān adalah “engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia –dalam ibadahmu—sedang melihatmu.” Ihsān disini dapat diartikan sebagai sikap ramah (baik), yang berarti melindungi dan memelihara dengan baik. Di sini, konteks ihsān dalam ibadah. Pemeliharaan lingkungan dapat menjadi ibadah, karena memelihara lingkungan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Ketika lingkungan dipelihara dan dijaga dengan baik, maka dia menjadi ibadah di hadapan Allah.

Orang yang tidak mengerti konsep ini, akan merusak lingkungannya. Maka banyak terjadi penggundulan hutan besar-besaran, buang sampah sembarangan, dll. Akhirnya, erosi terjadi dimana-mana. Sungai-sungai banyak yang meluap dan merusak pemukiman masyarakat. Pada gilirannya, lingkungan tak lagi bersahabat dengan manusia. Ini akibat dari menjauhkan Allah dari ranah dan lini kehidupan.

Konsep ihsān yang kedua adalah dalam Qs. 4: 36. Dimana ihsān di sini dimaknai dengan memperhatikan, menyayangi, merawat, dan menghormati. Dalam konteks ini, Islam menuntut manusia agar memperhatikan, menyayangi, merawat dan menghormati lingkungan. Dua konsep ihsān tersebut pada realitanya memang diperlukan oleh manusia dalam konteks interaksi dengan lingkungan. Karena, memang, kita wajib memperlakukan lingkungan dengan cara melindungi dan menjaganya. Bukan malah kita remehkan, lalaikan, serta musnahkan. Jika ini yang berlaku, yang terjadi adalah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana. Itu semua, kata Allah, karena ulah tangan-tangan jahil manusia. Padahal, itu semua bukan azab mutlak, melainkan peringatan agar manusia merasakan hasil perbuatan jahilnya. Karena Allah berharap manusia-manusia jahil terhadap lingkungannya dapat kembali lagi (Qs. 30: 41). Di samping itu, ihsān sejatinya adalah perbuatan baik yang tanpa batas. Artinya, perhatian terhadap segala sesuatu, baik hidup maupun mati, adalah tanpa perhitungan alias tak terhingga. Karena prinsip untuk bersikap lemah lembut berlaku bagi setiap elemen lingkungan, baik makhluk hidup maupun makhluk mati, serta yang berakal maupun yang tidak berakal. Dengan kata lain: prinsip untuk bersikap ihsān ini mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk mati.

 

C.  Kesimpulan

Untuk memudahkan dalam makalah yang sederhana ini, berikut kami tampilkan sebuah kesimpulan sebagai berikut :

  1. Hadist Jabir bin Abdullah r.a. ini merupakan larangan menelantarkan lahan, karena hal ini termasuk perbuatan yang tidak bermanfaat.
  2. Dalam menelantarkan lahan, Rosulullah S.a.w. menyarankan untuk memanfaatkan dan mengupah orang lain untuk mengelolahnya.
  3. Reboisasi adalah merupakan salah satu perbuatan yang terpuji.
  4. Allah S.w.t. menggambarkan kerusakan alam merupakan akibat dari ulah manusia itu sendiri.
  5. Alam di dunia ini rusak diakibatkan ulah dari perbuatan manusia yang munafiq.

http://bahrululummunir.blogspot.com/2011/03/hadits-tentang-upaya-pelestarian.html

iman kepada qadha dan qadar

PENDAHULUAN

 

  1. A.      Latar Belakang

Agama Islam terdiri dari enam rukun iman. Yang mana keenam rukun iman tersebut wajib kita imani untuk sempurna iman kita sebagai hamba Allah SWT dan ummat Rasulullah. Namun, ada beraneka ragam pemahaman masalah keimanan tentang rukun iman. Dalam makalah ini kami fokus ke pembahasan tentang keimanan terhadap qadha dan qadar dengan melihat dari pandangan dari beberapa kalangan dan kelompok Islam.

Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu.

 

  1. B.       Rumusan Masalah
    1. Apa Pengertian qadha dan qadar ?
    2. Bagaimana beriman kepada qadha dan qadar ?
    3. Bagaimana pandangan beberapa firqah Islam tentang qadha dan qadar ?
    4. Apa urgensi iman kepada qadha dan qadar ?

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.      Pengertian Qadha dan Qadar

Kata القضاء secara bahasa adalah “menyempurnakan sesuatu (perkara) melaksanakan dan menyelesaikannya, baik perkara itu berupa ucapan, amalan, kehendak (kemauan), ataupun yang lainnya”.

Kata القدر secara bahasa adalah “menjelaskan keterangan jumlah atau memberi pengertian kadar ukuran tertentu”.

Kalangan ulama ilmu aqidah menyebutkan beberapa makna qadha dan qadar yang berkaitan dengan syari’at. Di sini kami memilih dua tafsir, yang kami nilai lebih tepat dengan zahir al-Qur`an dan as-Sunnah.

  1. Pendapat pertama dinukil dari pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari dari kalangan ulama aqidah yang kondang, dan dari kalangan Jumhur Ahlu as-Sunnah.
    1. Al-Qadha adalah iradat Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaan-Nya. Seperti iradah-Nya yang azali menciptakan manusia di muka bumi.
    2. Al-Qadar, yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis, dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya”. Misalnya, Allah mengadakan manusia di muka bumi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya melalui qadha-Nya.
    3. Pendapat kedua dinukil dari al-Maturidiah (pengikut Abu al-Mansyur al-Maturidi, ulama pakar ilmu tauhid).
      1. Al-Qadha yaitu penciptaan yang mengacu kepada pembentukan. Misalnya Allah menciptakan manusia dalam bentuknya, sesuai iradah azali.
      2. Al-Qadar yaitu penakaran/penentuan yakni menjadikan sesuatu dengan iradah pada kadar yang telah ditentukan sebelum keberadaannya. Misalnya, iradah allah di alam azali untuk menciptakan manusia dalam bentuk khusus dan wujud tertentu, dan waktu yang ditentukan.[1]

 

  1. B.       Beriman kepada Qadha dan Qadar

Iman kepada qadha dan qadar merupakan suatu akidah yang dibina oleh Islam berdasarkan keimanan kepada Allahdan ditegakkan atas pengetahuan yang benar terhadap zat-Nya yang Mahatinggi, asma-Nya yang utama, dan sifat-Nya yang mulia, dan tidak diragukan lagi bahwa Islam telah memastikan bagi Allah itu sifat-sifat kesempurnaan, dan sifat-sifat keagungan dan keindahan, begitupun sebutan-sebutan untuk penghormatan dan menyampaikan puji-pujian. Dan dalam semua ini dalil akal cocok dan sesuai dengan dalil naql. Kemudian sifat-sifat kesempurnaan yang wajib bagi Tuhan dari segala wujud ini, yakni Tuhan yang mencipta lalu menyempurnakan ciptaan-Nya, dan menentukan ukuran dan memberikan bimbingan-Nya, diperinci dan diuraikan.

Maka di antara hal-hal yang seharusnya diimani dan diyakini sepenuh hati ialah bahwa milik Allah lah sifat-sifat: ilmu, iradad yang tidak terbatas, qadrad yang sempurna, dan bahwa Allah SWT. Melakukan apa yan dikehendaki-Nya dan mengetahui apa yang dilakukan-Nya itu. Dan berdasarkan sifat-sifat inilah berdirinya aqidah terhadap qadha dan qadar. Dan tanpa diragukan lagi, iman kepadanya merupakan bagian yang menyempurnakan dan melengkapi keimanan kepada Allah.[2]

 

  1. C.      Pandangan Beberapa Firqah Islam tentang Qadha dan Qadar

Dalam masalah qadha dan qadar ini, mayoritas kaum rasionalis telah menempuh berbagai jalan sempit dan jalan berliku-liku, yang dengan itu mereka bermaksud untuk mengetahui dan memahami hakikatnya, sehingga timbul beberapa pemahaman.

  1. JABRIYYAH

Tokoh aliran ini Jahm Bin Safwan, ia mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengatakan tetapi Allah sendiri. Manusia tidak lain bagaikan nubulu yang di tiup angin, tidak mempunyai gerak sendiri. Menurut golongan ini, iman kepada qadha dan qadar (baik dan buruknya dari Allah) adalah iman bahwa semua perbuatan yang berada di luar kehendak dan kemampuan manusia itu berasal dari Allah SWT, dan seluruh khasiyat yang terkandung di dalam materi diciptakan oleh Allah SWT, tanpa andil manusia sedikitpun.

Alasan-alasan aliran tersebut adalah :

  1. Kalau manusia dapat berbuat, berarti dia menjadi sekutu Tuhan, atau sekurang-kurangnya bisa mengadakan perbuatan yang mungkin tidak tunduk kepada kehendak Tuhan.
  2. Ayat-ayat yang menurut lahirnya menyatakan bahwa Tuhanlah yang menjadikan sesuatu, seperti :

“Tuhan yang  menjadikan sesuatu” (Q.S. Az-Zumar: 62)              

  1. MU’TAZILAH

Aliran mu’tazilah ini membagi perbuatan manusia menjadi dua bagian yaitu :

a)    Perbuatan yang timbul dengan sendirinya.

b)   Perbuatan-perbuatan bebas, di mana manusia bisa melakukan pilihan antara mengerjakan dan tidak mengerjakan.

Alasan-alasan akal pikiran :

  1. Kalau perbuatan itu diciptakan Tuhan seluruhnya sebagaimana yang dikatakan aliran Jabriyyah.
  2. Pahala dan siksa akan ada artinya, karena manusia tidak dapat mengerjakan baik atau buruk yang timbul dari kehendaknya sendiri.
  3. ASY’ARIYYAH

Al-Asy”ari seperti Mu’tazilah juga, membagi perbuatan manusia kepada dua bagian, yaitu perbuatan yang timbul dengan sendirinya dan perbuatan yang timbul karena kehendak. Dalam perbuatan macam kedua, manusia merasa sanggup mengerjakannya, suatu tanda bahwa ia mempunyai kekuataan (kemampuan / kesanggupan) yang dapat dipergunakannya.

Kelemahan-kelemahan pendapatnya:

  1. Sepintas lalu sudah jelas karena Al Asy’ari telah menetapkan adanya kekuasaan pada manusia, sebagai syarat utama terwujudnya pekerjaan dan yang menjadi dasar adanya pertanggungngan jawab baginya
  2. Bagaimana hubungan antara kedua kekuasaan, yaitu kekuasaan manusia dan kekuasan Tuhan, dengan perbuatan yang satu, yaitu perbuatan yang keluar dari manusia.

Dengan adanya pembedaan kedua kekuasaan tersebut dimaksudkan agar tidak sama nilainya terhadap terwujudnya perbuatan manusia.

  1. MATURIDY

Ia sependapat dengan Imam Abu Hanifah untuk menentang aliran muta’zilah dan mengatakan bahwa kekuasaan manusia bisa digunakan untuk dua kali yang berlawanan, seperti ketaatan dan manusia bebas mengarahkan (menggunakan) kekuasaannya tersebut.

Penciptaan ada dua yaitu :

  1. Penciptaan dari tiada yang hanya di miliki Tuhan saja,
  2. Penciptaan dari bahan yang telah ada dengan syarat tertentu yaitu yang dimiliki manusia.

Maturidy menggunakan kata-kata pencipta (Khalq) untuk macam pertama saja, sedang aliran mu’tazilah menggunakan kata-kata tersebut untuk kedua macam penciptaan, akan tetapi baik matiridy maupun mu’tazilah tidak mengatakan bahwa manusia dapat menciptakan sesuatu dari tiada. Jadi berbeda istilah, namun pengertian / isinya sama.

  1. IBN RUSYD

Ia mengakui adanya perlawanan antara dalil-dalil syara’. Sebagian ayat Al Qur’an menetapkan adanya jabar, dan sebagian lainnya menetapkan adanya ikhtiar. Bahkan banyak kita dapati satu berisi ayat jabar dan ikhtiar bersama-sama , seperti :

  1. Manakala kamu di timpa bahaya sedang kamu telah mendapat kemenangan dua kali lipatannya, lalu kamu katakan, dari manakah datangnya bahaya ini? Katakanlah : datangnya daripada kesalahan kamu sendiri. Bahwasannya Allah itu berkuasa pada tiap-tiap sesuatu. (Ali Imran : 165)

Perkataan “kamu tertimpa bahaya” menunjukkan adanya ketentuan (Qadhar) lebih dahulu sedang perkataan “Datangnya dari pada kesalahan kamu sendiri” jelas mengembalikan sebab kepada mereka sendiri.

  1. Apa-apa keebajikan yang kamu peroleh, itulah karunia dari Allah, dan apa-apa kecelakaan yang menimpa dirimu sebabnya kesalahanmu sendiri. (An Nisa : 79)
  2. Sesungguhnya Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu bangsa, hingga, hingga manusia itu sendiri merubah apa yang ada pada dirinya. (Ar Ra’du : 11).[3]

 

  1. D.      Urgensi Iman kepada Qadha dan Qadar
  2. Mukmin yang percaya kepada qadla dan qadar Allah, mereka sangat jauh dari tabiat dengki dan pemanas hati.
  3. Mukmin yang percaya kepada qadla dan qadar Allah bersifat pemberani dan tidak penakut.
  4. Mukmin yang percaya kepada Qadla dan Qadar Allah maka ia berlomba-lomba menjadi hamba sholeh, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir dan berupaya memperbaiki citra diri.
  5. Mukmin yang percaya kepada Qadla dan Qadar Allah, mereka tidak mengenal kata frustasi dalam kehidupannya dan tidak berbangga diri dengan apa yang telah di berikan oleh Allah.[4]

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. A.  KESIMPULAN
    1. القضاء secara bahasa adalah “menyempurnakan sesuatu (perkara) melaksanakan dan menyelesaikannya, baik perkara itu berupa ucapan, amalan, kehendak (kemauan), ataupun yang lainnya”. Sedang, القدر secara bahasa adalah “menjelaskan keterangan jumlah atau memberi pengertian kadar ukuran tertentu”.
    2. secara istilah ada beberapa pendapat ulama yaitu : Al-Qadha adalah iradat Allah yang bersifat azali yang berkaitan dengan segala sesuatu. Al-Qadar, yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis, dan sifatnya, perbuatan dan keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya.
    3. Pendapat firqoh terhadap qodha’ dan qodar:
      1. ASY’ARIYYAH

ü  soal keesaan, digunakan hipotesa yang berlainan denga hipotesa yang ada dalam ayat ke esaan.

ü  Tentang sifat yang mengatakan bahwa sifat lain daripada zat, mengandung persamaan Tuhan dengan manusia.

ü  Kehendak Tuhan adalah mutlak / bebas.

ü  Tidak menghargai kekuatan akal pikiran dalam menemukan sifat baik / buruk sesuatu perbuatan semuanya dikemukakan pada syara’ semata.

ü  Pendapat ini ahli sunah mengatakan apakah sudah benar demikian? Perlu ditinjau ulang.

 

 

  1. MU’TAZILAH

ü  Soal sifat, bahwa sifat itu tidak lain dari zat, didasarkan atas prinsip tidak adanya persamaan Tuhan dengan manusia.

ü  Al qur’an adalah makhluk.

ü  Menghargai akal setinggi-tingginya.

ü  Perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan manusia.

ü  Tuhan tidak menyalahi janji dalam ancamannya.

 

  1. MATURIDYYAH

ü  Sifat baik dan buruk terdapat pada tiap-tiap perbuatan sendiri (Assyariyah : hanya pertimbangan akal semata).

ü  Kalam nafsy (ada pada zat Tuhan ) tidak dapat di dengar (Asyariyyah : dapat didengar).

ü  Kekuasaan manusia mempunyai pengaruh terhadap perbuatan (Asyariyyah : tidak berpengaruh).

ü  Perbuatan Tuhan adalah baik dan terbaik.

 

  1. IBN RUSYD

ü  Pada umumnya Ibn Rusyd paa pembuktian kepercayaan islam dengan bukti-bukti / dalil yang dapat menerima akal dan dapat memperbaiki pendapat aliran Mu’tazilah.

(d) Urgensi Iman kepada Qadha dan Qadar

               Dengan adanya iman terhadap qodho’ dan qodar maka bagi seorang mukmin akan jauh dari tabiat dengki dan pemanas hati, membuktikan dan mengakui bahwa Allah bersifat pemberani dan tidak penakut, ia selalu  berlomba-lomba menjadi hamba sholeh, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir dan berupaya memperbaiki citra diri. Dan Mukmin yang percaya kepada Qadla dan Qadar Allah, tidak mengenal kata frustasi dalam kehidupannya dan tidak berbangga diri dengan apa yang telah di berikan oleh Allah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Habanah, Abdurrahman. Pokok-pokok Akidah Islam. Jakarta: Gema Insani. 1998.

Syaf, Mahyuddin. Aqidah Muslim. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. 1986.

Adnan, Farhan Bin. Persoalan Pengertian Qadha dan Qadar dalam http://www.blogspot.com.

Qadha dan Qadar dalam http://www.wordpress.com.

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Abdurrahman Habanah, Pokok-pokok Akidah Islam (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 615-616.

[2] Mahyuddin Syaf, Aqidah Muslim (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1986), hlm. 125.

[3]Farhan Bin Adnan, Persoalan Pengertian Qadha dan Qadar dalam www.blogspot.com, diakses tanggal 20 April 2012.

[4] Qadha dan Qadar dalam www.wordpress.com, diakses tanggal 20 april 2012.

Imam Tirmidzi dan kitab sunan-nya

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.      Latar Belakang Masalah

AlHadis merupakan sumber pedoman kedua bagi umat Islam setelah kitab suci alQur’an. Sebagai pedoman umat Islam, hadis perlu dikaji lebih dalam, karena keotentikannya dan kebenarannya masih belum bisa dikatakan benar secara keseluruhannya bersumber dari Nabi SAW secara langsung. Sehingga memerlukan suatu penelitian yang tidak ringkas untuk mengetahui kualitas ke-shahih-an suatu hadis.

Salah satu mukharrij alhadis yang terkenal adalah Imam al-Tirmidzi, seorang atba’ atba’ altabi’in dan juga seorang ulama besar dalam bidang hadis dan fiqih. Istilah shahih, hasan dan dha’if dalam hal klasifikasi hadis telah dimulai sejak zamannya. Padahal sebelumnya, ulama hadis hanya mengklasifikasikan hadis pada dua kategori saja, yaitu hadis shahih dan hadis dha’if. Pengklasifikasian hadis oleh Imam al-Tirmidzi dengan menggunakan kategori hadis hasan telah membuka wacana baru dalam perbincangan ulama hadis sesudahnya.

Dengan demikian, menarik kiranya jika penyusun mengulas lebih dalam, baik itu yang berkaitan dengan Imam al-Tirmidzi maupun kitab populernya Kitab alJami’ alShahih atau lebih dikenal dengan Sunan al-Tirmidzi.

 

  1. B.       Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penyusun menemukan rumusan masalah, sebagai berikut:

  1. Siapakah sosok Imam al-Tirmidzi dengan latar belakang kehidupannya?
  2. Bagaimanakah sistematika penghimpunan hadis dalam kitab Sunan alTirmidzi dan pendapat para kritikus hadis mengenai kitab ini?

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.      Biografi Imam al-Tirmidzi

Imam al-Tirmidzi memiliki nama lengkap Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah ibn Musa ibn al-Dhahak al-Sulami al-Bughi al-Tirmidzi. Namun beliau lebih popular dengan nama Abu ‘Isa. Bahkan dalam kitab alJami’ alShahih-nya, ia selalu memakai nama Abu ‘Isa. Sebagian ulama sangat membenci sebutan Abu ‘Isa, mereka menyandarkan argumennya dari hadis Abu Syaibah yang menerangkan bahwa seorang pria tidak diperkenankan memakai nama Abu ‘Isa, karena Isa tidak mempunyai ayah. Sabda Nabi Muhammad: “Sesungguhnya ‘Isa tidak mempunyai ayah”. Al-Qari menjelaskan lebih detail, bahwa yang dilarang adalah apabila nama Abu ‘Isa sebagai nama depan atau nama asli, bukan kunyah atau julukan. Dalam hal ini, penyebutan Abu ‘Isa adalah untuk membedakan al-Tirmidzi dengan ulama yang lain. Sebab, ada beberapa ulama besar yang popular dengan nama al-Tirmidzi, yaitu :

  1. Abu Isa al-Tirmidzi, pengarang kitab alJami’ alShahih.
  2. Abu al-Hasan Ahmad bin al-Hasan, yang popular dengan sebutan al-Tirmidzi al-Kabir.
  3. Al-Hakim al-Tirmidzi Abu Abdullah Muhammad ‘Ali bin al-Hasan bin Basyar. Ia seorang zuhud, hafidz, mu’azin, pengarang kitab dan popular dengan sebutan al-Hakim al-Tirmidzi.[1] (w. 285 H) seorang penulis besar dan sufi.[2]

Adapun nisbah yang melekat dalam nama al-Tirmidzi, yakni al-Sulami, dibangsakan dengan Bani Sulaim, dari Kabilah Ailan. Sementara al-Bughi adalah nama tempat di mana al-Tirmidzi wafat dan dimakamkan. Sedangkan kata al-Tirmidzi sendiri dibangsakan kepada kota Tirmidz, sebuah kota di tepi selatan sungai Jihun (Amudaria) yang sekarang, Uzbekistan (Ahmad Sutarmadi, 1998: 50), tempat al-Tirmidzi dilahirkan. Tokoh besar al-Tirmidzi lahir pada tahun 209 H dan wafat pada malam Senin tangga 13 Rajab tahun 279 H di desa Bug dekat kota Tirmidz dalam keadaan buta. Itulah sebabnya Ahmad Muhammad Syakir menambah dengan sebutan al-Darir, karena al-Tirmidzi mengalami kebutaan di masa tuanya.[3]

Al-Tirmidzi banyak mencurahkan hidupnya untuk menghimpun dan meneliti hadis. Beliau melakukan perlawatan ke pelbagai penjuru negeri, antara lain: Hijaz, Khurasan, dan lain-lain.

Di antara ulama yang menjadi gurunya adalah; Qutaibah bin Sa’id al-Madani (lama belajar al-Tirmidzi diperkirakan lebih dari 35 tahun), Ishaq bin Rahawaih (di Khurasan), Muhammad bin ‘Amru as-Sawwaq al-Balki (di Naysabur), Muhammad Ibn Ghilan (di Merw, w. 39 H)[4], Isma’il bin Musa al-Fazari, Abu Mus’ab al-Zuhri, Bisyri bin Mu’az al-‘Aqadi, al-Hasan bin Ahmad bin Abi Syu’aib, ‘Ali bin Hujr, Hannad, Yusuf bin Isa, Muhammad bin Yahya Khallad bin Aslam, Ahmad bin Muni’, Muhammad bin Isma’il, dan masih banyak lagi yang lainnya. Adapun di antara muridnya yang masyhur adalah Abu Bakar Ahmad bin Isma’il Ibn Amir al-Samarkandi, Abu Hamid Ahmad Ibn Abdullah Ibn Dawud a-Marwazi al-Tajir, Ahmad Ibn Yusuf al-Nasafi, Ahmad Ibn ‘Ali al-Maqari, al-Husain bin Yunus, Hammad bin Syakir dan lain-lain.[5]

Di kalangan kritikus hadis, integritas pribadi dan kapasitas intelektual al-Tirmidzi tidak diragukan lagi. Hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan mereka sebagai berikut:

  1. Dalam kitab alTsiqat, Ibn Hibban menerangkan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang penghimpun dan penyampai hadis, sekaligus pengarang kitab.
  2. Al-Khalili berkata, “al-Tirmidzi adalah seorang tsiqah muttafaqalaih (diakui oleh Bukhari dan Muslim)”.
  3. Al-Idris berpendapat bahwa al-Tirmidzi seorang ulama hadis yang meneruskan jejak ulama sebelumnya dalam bidang ‘Ulum alHadis.
  4. Al-Hakim Abu Ahmad berkata, aku mendengar ‘Imran bin ‘Alan berkata, “Sepeninggal Bukhari tidak ada ulama yang menyamai ilmunya, ke-wara’-annya, dan ke-zuhud-annya di Khurasan, kecuali Abu ‘Isa al-Tirmidzi.
  5. Ibn Fadil menjelaskan, Bahwa al-Tirmidzi adalah pengarang kitab Jami’ dan Tafsirnya, dia juga ulama yang paling berpengetahuan.[6]

Meskipun umumnya ulama kritikus hadis mengakui kredibilitas al-Tirmidzi sebagai ulama hadis, namun Muhammad Ibn Hazm mengatakan bahwa al-Tirmidzi adalah majhul dalam bidang periwayatan hadis. Pernyataan tersebut mengundang reaksi keras dari para ulama, di antaranya:

  1. Al-Hafiz al-Zahabi berpendapat, Ibn Hazm mengkritik al-Tirmidzi disebabkan ia tidak mengetahui dan belum sempat membaca karya al-Tirmidzi. Memang saat itu kitab alJami’ alShahih alTirmidzi belum sempat masuk ke wilayah Andalusia (Spanyol), negeri Ibn Hazm.
  2. Ibn Hajar dengan pernyataan yang cukup pedas, mengkritik pendapat Ibn Hazm dengan mengatakan:

“Suatu kebodohan bagi Ibn Hazm yang memberikan penilaian majhul terhadap al-Tirmidzi, padahal al-Tirmidzi diakui ke-hafiz-annya, serta karyanya telah mendapat respon positif di kalangan ulama hadis. Sesungguhnya al-Tirmidzi termasuk ulama yang tsiqat hafiz”.

  1. Ibn Katsir berkata :

“Suatu sikap bodoh Ibn Hazm yang memandang rendah Abu ‘Isa al-Tirmidzi. Penilaian tersebut tidak akan pernah merubah posisi al-Tirmidzi, namun sebaliknya akan merendahkan kredibilitas Ibn Hazm sendiri”.[7]

Bantahan yang muncul dari para ulama terhadap penilaian Ibn Hazm di atas menunjukkan bahwa para ulama masih tetap mengakui kredibilitas pribadi al-Tirmidzi selaku pakar hadis.

Kesungguhan al-Tirmidzi dalam menggali hadis dan ilmu pengetahuan, tercermin dari karya-karyanya, yaitu:

  1. Kitab alJami’ alShahih, yang kenal juga dengan alJami’ alTirmidzi, atau lebih popular lagi dengan Sunan alTirmidzi.
  2. Kitab al‘Ilal alShaghir, kitab ini terdapat pada akhir kitab alJami’ alTirmidzi.
  3. Kitab al‘Ilal alMufrad atau al‘Ilal Kabir yang mendapat bahan dari al-Bukhari.
  4. Kitab alTarikh.
  5. Kitab alSyama’il alMuhammadiyyah.
  6. Kitab alZuhud yang merupakan kitab tersendiri, yang tidak sempat diamankan, sehingga tidak dapat ditemukan
  7. Kitab alAsma’ wa alKunya.
  8. Kitab alAsma’ alShahabah.
  9. Kitab alAtsar alMauqufah.[8]

Di antara karya al-Tirmidzi yang paling monumental adalah kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi, sementara kitab-kitab yang lain, seperti alZuhud, dan alAsma’ wa alKunya kurang begitu dikenal di kalangan masyarakat umum.

Begitu populernya kitab alJami’ alShahih, maka muncul beberapa kitab syarah yang mensyarahi kitab tersebut. Di antaranya:

  1. Aridat alAhwadi ditulis oleh Abu Bakar ibn al-‘Arabi al-Maliki.
  2. AlMunqih alSyazi fi Syarh alTirmidzi oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad yang terkenal dengan Ibn Sayyid al-Nas al-Syafi’i.
  3. Syarah Ibn Sayyid alNas disempurnakan oleh al-Hafz Zainuddin al-‘Iraqi.
  4. Syarah al-Tirmidzi oleh al-Hafiz Abu al-Fajar Zainuddin ‘Abd al-Rahman Ibn Syihabuddin Ahmad Ibn Hasan Ibn Rajab al-Baghdadi al-Hanbali.
  5. AlLubab oleh al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani.
  6. Al-‘Urf alSyazi’ ala Jami’ alTimidzi oleh al-Hafiz ‘Umar ibn Ruslan al-Bulqini.
  7. Qat alMughtadi’ala Jami’ alTirmidzi oleh al-Hafiz al-Suyuti.
  8. Ta’liq alTirmidzi dan Syarah alAhwazi oleh Muhammad Tihir.
  9. Syarah Abu Thayyib alSindi.
  10. Syarah Sirajuddin Ahmad alSarkandi.
  11. Syarah Abu alHasan ibnAbd alHadis alSindi.
  12. Bahr alMazi Mukhtashar Shahih alTirmidzi oleh Muhammad Idris ‘Abd al-Ra’uf al-Marbawi al-Azhari.
  13. Tuhfat alAhwazi oleh Abu ‘Ali Muhammad Abd al-Rahman Ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri.
  14. Syarah Sunan alTirmidzi dengan alJami’ alShahih oleh Ahmad Muhammad Syakir.
  15. Al-‘Urf alSyaziala Jami’ alTirmidzi oleh Muhammad Anwar Syah al-Kasymiri.[9]

 

  1. B.       Situasi dan Kondisi Ketika Kitab alJami’ alShahih Ditulis.

Al-Tirmidzi adalah pakar hadis yang msyhur pada abad ke-3 Hijriyyah. Abad ke-3 H adalah puncak kemajuan ulama dalam mengembangkan pelbagai disiplin ilmu pengetahuan, di antaranya : hadis, fiqih, filsafat, ilmu kalam dan tasawuf.

Dalam kawasan hadis, periode ini merupakan periode “penyempurnaan dan pemilahan”, yaitu penanganan terhadap persoalan-persoalan yang belum sempat terselesaikan pada periode sebelumnya, seperti persoalan aljarh wa alta’dil, persambungan sanad dan kritik matan. Di samping itu, pemisahan hadis Nabi dan fatwa sahabat juga dilakukan ulama pada periode ini.

Upaya penyempurnaan dengan pemilahan ini pada akhirnya memunculkan kitab-kitab hadis dengan corak baru, yaitu kitab shahih yang hanya memuat hadis-hadis shahih yaitu kitab alJami’ alShahih oleh Bukhari (w. 256 H), kitab alJami’ alShahih oleh Muslim (w. 261 H), dan kitab-kitab Sunan yang memuat seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dha’if dan munkar, seperti kitab sunan yang disusun oleh Abu Dawud (w. 273 H), al-Tirmidzi (w. 279 H), al-Nasa’I (w. 303 H). Keberadaan kitab-kitab tersebut dimaksudkan untuk menangkal pemalsuan hadis dari golongan para pendusta dan mazhab teolog yang fanatik dalam membela golongannya.

Ulama pada abad itu juga berupaya menata hukum Islam berdasarkan sumber alQur’an dan alHadis, sehingga semua kitab hadis yang lahir pada abad ini berorientasi pada fiqih. Hal ini dapat dicermati dari metode penyusunan kitab-kitab tersebut terdiri atas bab-bab fiqih. Bahkan dengan tegas al-Tirmidzi mengatakan “Tidaklah hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini kecuali yang dipilih (diamalkan) fuqaha’”.

Pernyataan al-Tirmidzi tersebut menunjukkan, bahwa sebagai pakar hadis ia ingin menjaga keutuhan hadis sebagai dasar syari’at Islam. Ia lebih memilih menggunakan hadis dha’if laisa bihi matruk (hadis dha’if yang kelemahannya tidak menghalangi pengamalannya) dari pada hukum qiyas dan ijma’. Itulah sebabnya al-Tirmidzi menciptakan istilah hadis hasan, yang kedudukannya di bawah hadis shahih dan di atas hadis dha’if, namun dapat dipakai sebagai hujjah.[10]

 

  1. C.      Metode Kitab alJami’ alShahih[11]

Judul lengkap kitab alJami’ alShahih adalah al-Jami’ alMukhtashar min alSunan ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alahi wa Sallam wa Ma’rifat al-Shahih wa al-Ma’lul wa Ma’ ‘alaihi al-‘Amal.[12] Meski demikian kitab ini lebih popular dengan nama alJami’ alTirmidzi atau Sunan alTirmidzi. Untuk kedua penamaan ini tampaknya tidak dipermasalahkan oleh ulama. Adapun yang menjadi pokok perselisihan adalah ketika kata-kata shahih melekat dengan nama kitab. Al-Hakim (w. 405 H) dan al-Khatib al-Baghdadi (w. 483 H) tidak keberatan menyebut dengan Shahih alTirmidzi atau alJami’ alShahih.

Berbeda dengan Ibn Katsir (w. 774 H) yang menyatakan pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebab di dalam kitab alJami’ alTirmidzi tidak hanya memuat hadis shahih saja, akan tetapi memuat pula hadis-hadis hasan, dha’if dan munkar, meskipun al-Tirmidzi selalu menerangkan kelemahannya, ke-mu’alal-annya dengan ke-munkar-annya.

Dalam meriwayatkan hadis, al-Tirmidzi menggunakan metode yang berbeda dengan ulama-ulama lain. Berikut metode-metode yang ditempuh oleh al-Tirmidzi:

  1. Men-takhrij hadis yang menjadi amalan para fuqaha’.

Dalam kitabnya, al-Tirmidzi tidak meriwayatkan hadis, kecuali hadis yang diamalkan oleh fuqaha’, kecuali dua hadis, yaitu:

أن النبى صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر والعصر بالمدينة والمغرب والعشاء من غير خوف ولا سفر ولا مطر[13]

“Sesungguhnya Rasulullah menjama’ Shalat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’, tanpa adanya sebab takut, dalam perjalanan, dan tidak pula karena hujan”.

إذا شرب الخمر فاجلدوه فإن ماد فى الرابعة فاقتلوه[14]

“Apabila seseorang minum khamar, maka deralah ia, dan jika ia kembali minum khamar pada yang keempat kalinya maka bunuhlah ia”.

Hadis pertama, menerangkan tentang men-jama’ shalat. Para ulama tidak sepakat untuk meninggalkan hadis ini, dan boleh hukumnya melakukan shalat jama’ di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Demikian pendapat Ibn Sirin serta sebagian ahli fiqih dan ahli hadis.

Hadis kedua, menerangkan bahwa peminum khamar akan dibunuh jika mengulangi perbuatannya yang keempat kalinya. Hadis ini menurut al-Tirmidzi dihapus oleh ijma’ ulama. Dengan demikian dapat dipahami maksud al-Tirmidzi mencantumkan hadis tersebut, adalah untuk menerangkan ke-mansukh-an hadis, yaitu telah di-mansukh dengan hadis riwayat al-Zuhri dari Qabisah bin Zawaib dari Nabi, yang menerangkan bahwa peminum khamar tersebut dibawa kepada Rasul. Kemudia Rasul SAW. Memukulnya dan bukan membunuhnya.

  1. Memberi penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadis.

Salah satu kelebihan al-Tirmidzi adalah ia mengetahui benar keadaan hadis yang ia tulis. Hal itu berdasarkan hasil diskusinya dengan para ulama tentang keadaan hadis yang ia tulis. Dalam kitab alJami’, al-Tirmidzi mengungkapkan :

“Dan apa yang telah disebutkan dalam kitab ini mengenai ‘ilal hadis, rawi ataupun sejarah adalah hasil dari apa yang aku takhrij dari kitab-kitab tarikh, dan kebanyakan yang demikian itu adalah hasil diskusi saya dengan Muhammad bin Isma’il (al-Bukhari)”.

Pada kesempatan lain al-Tirmidzi juga mengatakan :

“Dan kami mempunyai argumen yang kuat berdasarkan pendapat ahli fiqih terhadap materi yang kami terangkan dalam kitab ini”.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa usaha menjelaskan keadaan suatu hadis dimaksudkan olah al-Tirmidzi untuk mengetahui kelemahan hadis bersangkutan. Menurut al-Hafiz Abu Fadhil bin Tahir al-Maqdisi (w. 507 H) ada empat syarat yang ditetapkan oleh al-Tirmidzi sebagai standarisasi periwayatan hadis, yaitu:

  1. Hadis-hadis yang sudah disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim.
  2. Hadis-hadis yang shahih menurut standar keshahihan Abu Awud dan al-Nasa’I, yaitu hadis-hadis yang para ulama tidak sepakat untuk meninggalkannya, dengan ketentuan hadis itu bersambung sanadnya dan tidak mursal.
  3. Hadis-hadis yang tidak dipastikan keshahihannya dengan menjelaskan sebab-sebab kelemahannya.
  4. Hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh fuqaha’, baik hadis tersebut shahih atau tidak. Tentu saja ketidak-shahihannya tidak sampai pada tingkat dha’if matruk.

 

  1. D.      Isi Kitab alJami’ alShahih.

Kitab alJami’ alShahih ini memuat berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; alaqa’id (tentang tauhid), alahkam (tentang hukum), alriqaq (tentang budi luhur), adab (tentang etika), altafsir (tentang tafsir al-Qur’an), altarikh wa alsiyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), alsyama’il (tabi’t), alfitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan almanaqib wa almasalib (tentang biografi sahabat dan tabi’in).[15] Oleh sebab itu kitab hadis ini disebut dengan alJami’.

Secara keseluruhan, kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi ini terdiri dari 5 juz, 2375 bab dan 3956 hadis.

Menurut al-Tirmidzi, isi hadis-hadis dalam alJami’ alShahih, telah diamalkan ulama’ Hijaz, Iraq, Khurasan dan daerah lain (dalam kitab Tarikh-nya, Ibnu Katsir meriwayatkan dari al-Tirmidzi, dia berkata: “Aku telah menyusun kitab Musnad yang shahih ini dan telah aku tunjukkan kepada para ulama Hijaz, Iraq, Khurasan dan mereka menyenanginya. Barangsiapa di rumahnya terdapat kitab ini, maka seakan-akan di rumahnya ada seorang Nabi yang bersabda)[16], kecuali dua hadis (yang telah dibahas dimuka). Hadis ini diperselisihkan ulama baik segi sanad maupun dari segi matan, sehingga sebagian ulama ada yang menerima dan ada yang menolak dengan alasan-alasan yang berdasarkan naql maupun akal.

 

  1. E.       Sistematika Kitab AlJami’ alShahih

Kitab alJami’ alShahih ini disusun berdasarkan urutan bab fiqih, dari bab thaharah seterusnya sampai dengan bab akhlaq, do’a, tafsir, fadha’il dan lain-lain. Dengan kata lain al-Tirmidzi dalam menulis hadis dengan mengklasifikasi sistematikanya dengan model juz, kitab, bab dan sub bab. Kitab ini ditahqiq dan dita’liq oleh tiga ulama kenamaan pada generasi sekarang (modern), yakni Ahmad Muhammad Syakir (sebagai Qadhi Syar’i), Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’ (sebagai penulis dan pengarang terkenal), dan Ibrahim ‘Adwah ‘Aud (sebagai dosen pada Universitas al-Azhar Kairo Mesir).

Secara rinci sistematika kitab alJami’ alShahih akan dijelaskan sebagai berikut:

  • Juz I terdiri dari 2 kitab, tentang Thaharah dan Shalat yang meliputi 184 bab 237 hadis.
  • Juz II terdiri dari kitab Witir, Jumu’ah, Idayn dan Safar, meliputi 260 bab dan 355 hadis.
  • Juz III terdiri dari kitab Zakat, Shiyam, Haji, Janazah, Nikah, Rada’, Thalaq dan Li’an, Buyu’ dan alAhkam, meliputi 516 bab dan 781 hadis.
  • Juz IV terdiri dari kitab Diyat, Hudud, Sa’id, Dzaba’ih, Ahkam dan Sa’id, Dahi, Siyar, Fadhilah Jihad, Libas, Ath’imah, Asyribah, Birr wa Shilah, alThibb, Fara’id, Washaya, Wali dan Hibbah, Fitan, alRa’yu, Syahadah, Zuhud, Qiyamah, Raqa’iq dan Wara’, Jannah dan Jahannam, meliputi 734 bab dan 997 hadis.
  • Juz V terdiri dari 10 pembahasan, tentang Iman, ‘Ilm, Isti’dzan, Adab, alNisa’, Fadha’il alQur’an, Qira’ah, Tafsir alQur’an, Da’awat, Manaqib, yang meliputi 474 bab dan 773 hadis, di tambah tentang pembahasan ‘Ilal.[17]

 

  1. F.        Kualitas Hadisnya[18]

Karena kitab al-Tirmidzi banyak memuat hadis hasan, maka membuat kitab tersebut populer dengan kitab hadis hasan itu. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai hadis hasan itu, termasuk guru-guru maupun murid-murid al-Tirmidzi, karena al-Tirmidzi tidak memberi definisi yang pasti, terlebih al-Tirmidzi menggabungkan dengan istilah yang beraneka ragam, seperti: hadis hasan shahih, hasan gharib, dan hasan shahih gharib.

Namun, satu hal yang tetap perlu dicatat, adalah kerja besar al-Tirmidzi dalam mengukir sejarah tentang pembagian hadis menjadi hadis shahih, hasan, dan dha’if, yang sebelumnya adalah hadis shahih dan dha’if. Imam al-Nawawi dalam kitab Taqrib yang disyaratkan oleh al-Suyuti mengatakan: “Kitab alTirmidzi adalah asal untuk mengetahui hadis hasan, ialah yang memasyhurkannya, meskipun sebagian ulama dan generasi sebelumnya telah membicarakannya secara terpisah”.

Senada dengan Imam al-Nawawi, Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyyah juga menjelaskan: “Abu Isa al-Tirmidzi dikenal sebagai orang pertama yang membagi hadis menjadi shahih, hasan dan dha’if, yang tidak diketahui oleh seorang pun tentang pembagian itu sebelumnya. Abu Isa telah menjelaskan yang dimaksud dengan hadis hasan itu ialah hadis yang banyak jalannya, perawinya tidak dicurigai berdusta, dan tidak syaz“.

Dilihat dari segi kuantitatif dan kualitatif nilai hadis dari kitab alJami’ alShahih yang berjumlah 3956 buah hadis itu sebagai berikut:[19]

  1. Hadis shahih

158 buah

  1. Hasan shahih

1.454 buah

  1. Shahih gharib

8 buah

  1. Hasan shahih gharib

254 buah

  1. Hasan

705 buah

  1. Hasan gharib

571 buah

  1. Gharib

412 buah

  1. Dha’if

73 buah

  1. Tidak dinilai dengan jelas

344 buah

 

  1. G.      Nilai dan Derajat Kitab alJami’ alShahih

al-Dahlawy membagi derajat kitab-kitab hadis kepada empat tingkatan:

Pertama, alMuwaththa’, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.

Kedua, Sunan yang empat (Sunan Abu Dawud, Sunan alNasa’I, Sunan alTirmidzi, Sunan Ibnu Majah), sementara Musnad Ahmad sangat berdekatan kepada tingkat yang kedua ini.

Ketiga, seluruh Musnad selain Musnad Ahmad, yang kandungannya bercampur baur, ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang dha’if, bahkan ada yang munkar, seperti Musnad Abu Ya’la, Sunan alBaihaqi, kitab-kitab alThahawi dan kitab alThabrani.

Keempat, kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penyusunnya mengumpulkan segala rupa hadis, untuk kepentingan mereka yang membantu pendirian dan paham masing-masing, seperti kitab-kitab Ibnu Asakir, alDailami, Ibnu Najjar Abu Nu’aim, dan yang setaraf.[20]

 

  1. H.      Pendapat Para Ulama

Terlepas dari kebesaran dan kontribusi yang telah diberikan oleh al-Tirmidzi melalui kitabnya, tetap muncul pelbagai pandangan kontroversial antara yang memuji dan mengkritik karya tersebut. Di antaranya adalah al-Hafiz al-‘Alim al-Idrisi, yang menyatakan bahwa al-Tirmidzi adalah seorang dari para Imam yang memberikan tuntunan kepada mereka dalam ilmu hadis, mengarang alJami’, Tarikh, ‘Ilal, sebagai seorang penulis yang ‘alim yang meyakinkan, ia seorang contoh dalam hafalan.[21]

Lain halnya dengan al-Hafiz Ibn Asihr (w. 524 H), yang menyatakan bahwa kitab al-Tirmidzi adalah kitab shahih, juga sebaik-baiknya kitab, banyak kegunaannya, baik sistematika penyajiannya dan sedikit sekali hadis-hadis yang terulang. Di dalamnya juga dijelaskan pula hadis-hadis yang menjadi amalan suatu mazhab disertai argumentasinya. Di samping itu al-Timidzi juga menjelaskan kualitas hadis, yaitu shahih, saqim dan gharib. Dalam kitab tersebut juga dikemukakan kelemahan dan keutamaan (alJarh wa alTa’dil) para perawi hadis. Ilmu tersebut sangat berguna untuk mengetahui keadaan perawi hadis yang menetukan apakah dia diterima atau ditolak.

Sementara Abu Isma’il al-Harawi (w. 581 H) berpendapat, bahwa kitab alTirmidzi lebih banyak memberikan faedah dari pada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebab hadis yang termuat dalam kitab alJami’ alShahih alTirmidzi diterangkan kualitasnya, demikian juga dijelaskan sebab-sebab kelemahannya, sehingga orang dapat lebih mudah mengambil faedah kitab itu, baik dari kalangan fuqaha’, muhadditsin, dan lainnya.

Al-‘Allamah al-Syaikh’ Abd al-‘Aziz berpendapat, bahwa kitab alJami’ alShahih alTirmidzi adalah kitab yang terbaik, sebab sistematika penulisannya baik, yaitu sedikit hadis-hadis yang disebutkan berulang-ulang, diterangkan mengenai mazhabmazhab fuqaha’ serta cara istidlal yang mereka tempuh, dijelaskan kualitas hadisnya, dan disebutkan pula nama-nama perawi, baik gelar maupun kunyahnya.

Seorang orientalis Jerman, Brockelman menyatakan ada sekitar 40 hadis yang tidak diketahui secara pasti apakah hadishadis itu termasuk hadis Abi Isa al-Tirmidzi. Sekumpulan hadis itu dipertanyakan apakah kitab yang berjudul alZuhud atau alAsma’ wa alKunya. Ada dugaan keras bahwa kumpulan hadis itu adalah alFiqh atau alTarikh, tetapi masih diragukan.

Ignaz Goldziher dengan mengutip pendapat al-Zahabi telah memuji kitab al-Jami’ al-Shahih dengan memberikan penjelasan bahwa kitab ini terdapat perubahan penetapan isnad hadis, meskipun tidak menyebabkan penjelasan secara rinci, tetapi hanya garis besarnya. Di samping itu, di dalam kitab alJami’ alShahih ini ada kemudahan dengan memperpendek sanad.

Kendati banyak yang memuji kitab alJami’ alTirmidzi, namun bukan berarti kemudian luput dari kritikan. AlHafiz Ibn alJauzi (w. 751 H) mengemukakan, bahwa dalam kitab alJami’ alShahih li alTirmidzi terdapat 30 hadis maudu’ (palsu), meskipun pada akhirnya pendapat tersebut dibantah oleh Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H) dengan mengemukakan, bahwa hadis-hadis yang dinilai palsu tersebut sebenarnya bukan palsu, sebagaimana yang terjadi dalam kitab Shahih Muslim yang telah dinilainya palsu, namun ternyata bukan palsu.

Di kalangan ulama hadis, al-Jauzi memang dikenal terlalu tasahul (mudah) dalam menilai hadis sebagai hadis palsu. Mengacu kepada pendapat al-Suyuti, dan didukung oleh pengakuan mayoritas ulama hadis seperti telah dikemukakan, maka penilaian Ibn al-Jauzi tersebut tidak merendahkan al-Tirmidzi dan kitab alJami’ alShahih-nya.[22]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil simpulan: Pertama, al-Tirmidzi adalah seorang pakar hadis yang konsisten dengan keilmuannya, sehingga mayoritas ulama menilai positif kepakaran al-Tirmidzi dalam bidang hadis, kecuali Ibn Hazm. Meski demikian, pandangan Ibn Hazm tidak mengurangi kapasitas intelektual dan kredibilitas al-Tirmidzi selaku ahli hadis. Kedua, kitab alJami’ alShahih atau Sunan alTirmidzi ditulis al-Tirmidzi pada abad ke-3 H, yakni periode “penyempurnaan dan pemilahan”. Kitab alTirmidzi ini memuat seluruh hadis kecuali hadis yang sangat dha’if dan munkar. Satu spesifikasi kitab alTirmidzi ini adalah adanya penjelasan tentang kualitas dan keadaan hadisnya. Ketiga, melalui kitab alJami’ alShahih ini pula al-Tirmidzi memperkenalkan istilah hadis hasan, yang sebelumnya hanya dikenal istilah hadis shahih dan hadis dha’if. Kriteria ini dengan konsisten diaplikasikan al-Tirmidzi dalam kitabnya tersebut. Keempat, banyak dari para kritikus hadis yang menyambut positif dengan kehadiran kitab alJami’ alShahih dan juga ada yang mengkritiknya juga. Kelima, kitab alJami’ alShahih menjadi salah satu dari Kutub alSittah.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Suryadi, Kitab Sunan alTirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis”. Yogyakarta: Teras, 2003.

Sutarmadi, Ahmad, alImam alTirmidzi: Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqih. Jakarta: Logos, 1998.

Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Shahih, juz V.

al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2010.

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhamad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.

Amir, Fachrur Razi, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis Kualitatif dalam “Ulumul Hadis”. Yogyakarta: Teras, 2010.


[1] Suryadi, Kitab Sunan alTirmidzi dalam “Studi Kitab Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 104-105.

[2] Ahmad Sutarmadi, alImam alTirmidzi: Peranannya dalam Pengembangan Hadits dan Fiqih (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 50.

[3] Suryadi, Kitab Sunan alTirmidzi, hlm. 105-106.

[4] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 59-60.

[5] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm 63.

[6] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 107.

[7] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 108.

[8] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi…, hlm. 77-78.

[9] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 109-110.

[10] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 110-111.

[11] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 111-114.

[12] Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis dan Historiografi Islam: Kajian Lintas Aliran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 160.

[13] Al-Tirmidzi, al-Jami’…, juz V, 392.

[14] Al-Tirmidzi, al-Jami’…, juz V, 392.

[15] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 57.

[16] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 281. Lihat juga Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 263.

[17] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi…, hlm. 160.

[18] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 119-120.

[19] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi, hlm. 164.

[20] Teungku Muhamad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 101. Lihat juga Fachrur Razi Amir, Peringkat Kitab-kitab Hadis: Analisis Kualitatif dalam “Ulumul Hadis” (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 214-215.

[21] Ahmad Sutarmadi, al-Imam al-Tirmidzi…, hlm. 78.

[22] Suryadi, Kitab Sunan al-Tirmidzi, hlm. 121-123.

tafsir ilmi

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar bealakang

Al-Qur’an merupakan kitab yang menjadi petinjuk bagi ummat Islam, namun teks Al-Qur’an sendiri masih bersifat global. Globalnya teks Al-Qur’an tersebut sehingga membutuhkan penafsiran / penakwilan dalam memahami kandungan makna yang dikandung dalam Al-Qur’an yangmasih bersifat global tersebut. Kegiatan menafsirkan ayat Al-Qur’an sendiri telah dimulai dari zaman Nabi SAW di mana masih merupakan masa transisi turunnya kitab yang Agung ini ke dunia.

Namun belakangan ini kegiatan manfsirkan ayat Al-Qur’an terus berkembang seiring berkembangnya zaman. Metode, corak, dan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an pun mulai bermunculan sesuai dengan madzhab-madzhab yang dianut oleh para mufassir itu sendiri. Metode dan pendekatan yang digunakan dalam menafsirkan, itu jelas mempengaruhi hasil penafsiran.

Hingga saat ini ada beberapa corak dan madzhab tafsir yang berkembang antara lain; tafsir fiqih, tafsir sufi, tafsir falsafi, tafsir adaby ijtima’i, tafsir ilmi dll. Dalam makalah kali ini kami mencoba menjabarkan tentang salah satu madzhab tafsir yang berkembang dalam zaman sekarang ini, yakni tafsir ilmi. Mulai dari penegertian, asal dan perkembangan tafsir ilmi, pro-kontra seputar tafsir ilmi, serta contoh-contoh penafsirannya.

  1. Rumusan Masalah
    1. Apa pengertian tafsir ilmi?
    2. Bagaimana asal mula munculnya dan sejarah perekmbangan tafsir ilmi?
    3. Bagaimana pandangan para ulama terhadap tafsir ilmi?
    4. Siapa saja tokoh-tokoh tafsir ilmi?
    5. Bagaimana contoh-contoh ayat yang ditafsirkan secara ilmi?

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian tafsir ilmi

Kata Tafsir adalah bentuk kata benda dari Fassara-Yufassiru-Tafsir.secara bahasa berasal dari suku kata Fa-sa-ra maknanya adalah: Penjelasan, keterangan(al-bayan)[1]. Adapun dikalangan mufassir, kata tafsir merupakan istilah yang khas ia memiliki pengertian tersendiri yang sedikit berbeda dengan arti bahasa.ada banyak pengertian tafsir yang dikemukakan oleh ulama, misalnya menurut Abu Hayan sebagai berikut[2]:

علم يبحث عن كيفية النطق بالفاظ القرأن و مد لولاتها واحكامهاالافرادية واالتركبيية ومعانيهاالتي يحمل عليها حا لة التركيب

 “Ilmu yang membahas mengenai tata cara lafadz-lafadz al-qur’an,dalil-dalil,aturan-aturan ditinjau dari kata(mufradat),susunan kalimat,serta penjelasan makna yang terkandung dalam susunan kalimat”. Continue reading

kajiam tafsir tematik, masyarakat dalam Al-Qur’an

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar belakang

Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi ummat manusia pada umumnya dan ummat muslim pada khususnya. Di dalam Al-Qur’an itu sendiri tidak ada keraguan sebagaimana difirmankan allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2 “(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya” oleh karena itu kita sebagai ummat muslim wajib mengikutinya.

Al-Qur’an sendiri banyak menjelaskan berbagai dimensi dalam kehidupan dunia maupun alam akhirat. Nilai-nilai dalam Al-Qur’an juga mempunyai spirit dalam berbagai hal-hal. Misalnya Al-Qur’an mengandung spirit nilai aqidah, hukum, sosial, bahkan sains pun telah ada spriritnya dalam Al-Qur’an tinggal bagaimana kita mengembangkannya.

Dalam ranah atau dimensi sosial, dalam Al-Qur’an sendiri telah menyinggungnya. Semantra dalam ranah sosial ini ada banyak tema dan istilah yang terkait di dalamnya. Salah satunya ialah masyarakat. Untuk itu melalui tulisan ini kami mencoba mengkaji bagaimana masyarakat yang dijelaskan oleh Al-Qur’an dengan merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang telah ada berdasarkan beberapa ayat yang terkait dalam Al-Qur’an.

 

  1. Rumusan masalah
    1. Apa saja ayat-ayat tentang masyarakat dalam Al-Qur’an?
    2. Bagaimana asbab al-nuzul ayat-ayat tersebut?
    3. Bagaimana penjelasan atau penafsiran ayat-ayat tersebut?
    4. Bagaimana kontekstualisasi ayat-ayat tersebut dalam kehidupan bermasyarakat?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. QS. Al-An’am ayat 108

 

  1. Redaksi ayat

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya :

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami perindah bagi setiap umat amal mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

  1. b.      Asbab al-nuzul

Ibnu Abi Hatim mengeluarkan riwayat dari As-Saddi, bahwa ketika Abu Thalib sudah berada di ambang kematiannya, orang-orang Quraisy berkata, “Berangkatlah kalian, sungguh kita akan menemui orang ini (Abu Thalib), lalu menyuruhnya supaya putra saudaranya tidak melarang kita. Sebab kita malu, kalau kita membunuhnya setelah Abu Thalib mati, sehingga orang-orang Arab berkata, ‘Dulu ketika dia (Abu Thalib) masih hidup, dia memelihara dan melindunginya. Tapi setelah dia mati, mereka membunuhnya’. Maka berangkatlah Abu Sufyan, Abu Jahal, Nadhr bin Harits, Umayyah dan Ubay (keduanya putra Khalaf), ‘Uqbah bin Abi Mu’aith, Amr bin Ash, dan Aswad bin Bukhtari. Mereka mengutus salah seorang utusan kepada Abu Thalib untuk menyampaikan permintaannya. Mereka berkata, “izinkan kami menemui Abu Thalib.” Penerima utusan itu datang kepada Abu Thalib, seraya berkata, “Mereka para pembesar kaummu hendak bertemu dengan anda.” Abu Thalib memperkenankan mereka masuk. Mereka berkata, “Ya abu Thalib, anda adalah sesepuh dan tuan kami, sedangkan Muhammad telah menyakiti kami dan tuhan-tuhan kami. Kami mohon anda memanggilnya, lalu melarangnya mencela tuhan-tuhan kami; kami pun tentu akan membiarkan dia bersama Tuhannya.” Abu Thalib memanggil Nabi saw, dan beliau pun datang. Abu Thalib berkata, “Mereka adalah kaummu dan bani pamanmu.” Rasulullah saw bertanya, “Apa yang mereka kehendaki ?” Mereka berkata, “Kami ingin agar engkau membiarkan kami bersama tuhan-tuhan kami; kami pun tentu akan membiarkanmu bersama Tuhanmu.” Abu Thalib berkata, “Kaummu telah berlaku bijaksana, terimalah tawarannya itu.” Nabi saw bersabda, “Bagaimana pendapat kalian, sekiranya saya memberikan ini kepada kalian; maukah kalian memberikan sebuah kalimat , yang jika kalian mengucapkannya, niscaya seluruh bangsa Arab akan kalian kuasai, dan orang-orang ‘Ajam akan tunduk kepada kalian, bahkan mereka akan menunaikan pajak kepada kalian ?” Abu Jahal berkata, “Demi bapakmu, sungguh kami akan memberikannya sepuluh kali lipat dari itu kepadamu. Kalimat apakah itu ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah kalimat La Ilaha Illa ‘I-lah.” Mereka enggan dan merasa jijik. Abu Thalib berkata, “Muhammad, katakanlah selain itu, karena kaummu takut kepada kalimat itu.” Rasulullah saw bersabda. “Wahai pamanku, saya tidak akan mengatakan selain kalimat itu. Hingga kalaupun mereka membawa matahari lalu meletakannya di tanganku, dan sekali lagi kalaupun mereka telah membawanya lalu meletakannya di tanganku, saya tidak akan mengatakan selain kalimat itu.” Mereka marah, lalu berkata, “Pilihlah: apakah kamu akan berhenti memaki tuhan-tuhan kami, ataukah kami akan memakimu dan memaki siapa yang menyuruhmu.” Maka Allah menurunkan ayat diatas.[1]

 

  1. Tafsir mufrodat
  • وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ : “dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah”, merupakan larangan. Sedangkan فَيَسُبُّوا اللَّهَ  karena mereka nanti akan memaki Allah”, adalah akibat dari larangan tersebut.
  • كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ demikian Kami jadikan setiap ummat menganggap baik pekerjaan mereka”, maksudnya adalah sebagaimana Kami jadikan mereka menganggap baik pekerjaan mereka, maka begitu pula Kami jadikan setiap ummat menganggap baik perbuatan mereka.

 

  1. Penjelasan ayat

Setelah memberi petunjuk kepada Nabi saw sebagai pemimpin umat sehingga otomatis termasuk juga kaum muslimin, kini bimbingan secara khusus ditujukan kepada kaum muslimin. Bimbingan ini menyangkut larangan mencaci tuhan-tuhan mereka yang boleh jadi dilakukan oleh kaum muslimin terdorong oleh emosi menghadapi gangguan kaum musyrikin atau ketidaktahuan mereka. Halini tidak mungkin akan terjadi dari Nabi Muhammad saw yang sangat luhur budi pekertinya lagi bukan seorang pemaki dan pencerca. Karena itu, redaksi ayat ini hanya ditujukan kepada jamaah kaum muslimin, yakni: Dan janganlah kamu, wahai kaum muslimin, memaki sembahan-sembahan, seperti berhala-berhala, yang mereka sembah selain Allah karena, jika kamu memakinya, maka akibatnya mereka akan memaki pula Allah dengan melampaui batas atau secara tergesa-gesa tanpa berpikir dan tanpa pengetahuan.[2]

Apa yang dapat mereka lakukan dari cacian itu sama dengan apa yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin yang lain sepanjang masa karena demikianlah kami memperindah bagi setiap umat amal buruk mereka akibat kebejatan budi mereka dan akibat godaan setan terhadap mereka. Tetapi, jangan duga mereka akan lepas dari tanggung jawab karena kemudian, yakni nanti setelah datang waktu yang ditentukan, yang boleh jadi kamu anggap lama sebagaimana dipahami dari kata (ثمّ) tsumma kepada Tuhan merekalah, yang sampai saat ini masih terus memelihara mereka, kembali mereka, yakni pada akhirnya mereka pasti kembali kepada Allah swt tanpa waktu yang lama, Dia yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui itu memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu terus-menerus mereka kerjakan sehingga, dengan pemberitahuan itu, mereka disiksa dan sadar bahwa mereka memang wajar mendapat balasan tang setimpal. [3]

Bahwa ayat ini melarang memaki kepercayaan kaum musyrikin karena makin tidak menghasilkan sesuatu menyangkut kemaslahatan agama. Agama Islam datang membuktikan kebenaran, sedang makian biasanya ditempuh oleh mereka yang lemah. Sebaliknya, dengan makian, boleh jadi kebatilan dapat tampak di hadapan orang-orang awam sebagai pemenang. Karena itu, suara keras si pemaki dan kekotoran lidahnya tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim yang harus memelihara lidah dan tingkah lakunya. Di sisi lain, makian dapat menimbulkan antipati terhadap yang memaki sehingga, jika hal itu dilakukan oleh seorang muslim yang dimaki akan semakin menjauh.[4]

Larangan memaki tuhan-tuhan dan kepercayaan pihak lain merupakan tuntunan agama guna memelihara kesucian agama-agama dan guna menciptakan rasa aman serta hubungan harmonis antar-umat beragama. Manusia sangat mudah terpancing emosinya bila agama dan kepercayaannya disinggung. Ini merupakan tabiat manusia, apapun kedudukan sosial atau tingkat pengetahuannya, karena agama bersemi di dalam hati penganutnya, sedang hati adalah sumber emosi. Berbeda dengan pengetahuan yang mengandalkan akal dan pikiran. Karena itu, dengan mudah seseorang mengubah pendapat ilmiahnya, tetapi sangat sulit mengubah kepercayaannya walau bukti-bukti kekeliruan kepercayaan telah terhidang kepadanya.[5]

Selanjutnya firman-Nya: tanpa pengetahuan menunjukkan bahwa yang mencela agama pada hakikatnya tidak memiliki pengetahuan. Kalau yang dicacinya adalah agama yang haq, kebodohannya sangat jelas, dan bila yang dicacinya agama yang sesat, ia pun tidak memiliki pengetahuan tentang larangan Allah ini. Ada juga yang memahami kata tanpa pengetahuan ditujukan kepada kaum musyrikin itu. Dalam arti, bila mereka membalas makian dengan memaki Allah, ketika itu sebenarnya mereka lakukan tanpa sadar dan tidak tahu bahwa mereka memaki Allah. Bukankah mereka juga mengakui keagungan Allah walau dengan cara yang keliru, yaitu dengan menyembah berhala-berhala sebagai perantara? Kalau demikian, mereka pun sebenarnya tidak memaki Allah. Jika sekiranya terjadi makian, maka itu karena tanpa pengetahuan dan kesadaran. Makian mereka ketika itu, boleh jadi hanya terdorong oleh emosi untuk menjengkelkan kaum muslimin, yang mengagungkan Allah swt.[6]

Firman-Nya: Demikianlah Kami perindah bagi setiap umat amal mereka dibahas panjang lebar oleh para mufasir sesuai dengan pandangan mereka tentang hubungan antara perbuatan manusia dan Allah swt. Muhammad Sayyid Thanthawi mengemukakan dalam tafsirnya bahwa ayat ini bermakna, “Seperti pengindahan itulah yang mengakibatkan kaum musyrikin membela kepercayaan mereka yang sesat karena kebodohan dan pelampauan bataas/permusuhan mereka seperti itulah kami perindah untuk satu umat dari seluruh umat amal-amal mereka, apakah baik atau buruk, keimanan atau kekufuran, karena telah berlaku ketentuan kami menyangkut tabiat manusia bahwa mereka menganggap baik kebiasaan mereka serta mempertahankan tradisi mereka.”[7]

M.Quraish Shihab mengamati bahwa sekian banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata Kami dan menunjuk kepada Allah swt yang hakikatnya menunjuk pula adanya pelaku selain Allah. Kalau pengamatan itu kita terapkan pada ayat ini, itu berarti yang memperindah amal mereka, di samping Allah swt, juga manusia dengan keterlibatan dalam upaya memperindah itu. Dengan demikian, kita tidak dapat melepaskan tanggung jawab manusia dalam upaya tersebut. Menurut M.Quraish Shihab keterlibatan Allah adalah pada ketentuan-ketentuan sunatullah yang berlaku atas semua manusia, antara lain bahwa siapa pun yang tidak membentengi jiwanya dengan iman dan taqwa, dia akan terbawa oleh nafsu sehingga keburukan dianggapnya indah. Sebaliknya, siapa yang beriman dan bertaqwa, maka keburukan akan dinilainya sangat buruk dan kebajikan adalah hiasannya. Ini merupakan ketentuan Allah yang berlaku pada semua manusia. Adapun keterlibatan manusia adalah pada keberhasilan atau kegagalannya membentengi jiwa mereka. Kaum kafir gagal sehingga Kami, yakni Allah, melalui ketetapan sunnah Kami yang berlaku atas setiap manusia, bersama dengan manusia akibat kegagalannya membentengi diri sehingga mengikuti setan dan hawa nafsunya. Kami, yakni Allah, bersama manusia dengan peranan yang berbeda telah memperindah bagi setiap umat amal mereka.[8]

e. Kontekstualisasi

Dalam hidup bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial pasti melakukan interaksi sosial dengan manusia lainnya sehingga harus dapat menghargai dan menghormati perbedaan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan sering menjadi masalah adalah perbedaan agama, sehingga dapat menimbulkan lingkungan yang tidak kondusif. Sebagai umat Islam kita diperintahkan untuk melakukan sikap yang baik dan toleran terhadap perbedaan itu seperti yang terdapat dalam surat al-An’am ayat 108 di atas sehingga menciptakan masyarakat yang hidup rukun secara berdampingan.

Inti dari ayat di atas adalah kita sebagai umat Islam harus hidup rukun ketika hidup bermasyarakat yang tentunya berdampingan dengan agama lain karena Islam adalah agama rahmatal lil alamin (rahmat untuk semua alam/makhluk Allah) sehingga ketika ada tetangga kita yang beragama non muslim kita tidak boleh mencacinya ataupun mencelanya karena agama Islam selalu mengajarkan kebaikan dan kedamaian baik itu antar sesama muslim ataupun dengan yang non muslim. Sudah sepatutnya kita sebagai umat Islam menjunjung tinggi sikap toleransi antara umat beragama karena dengan itu akan tercipta kerukunan diantara manusia dan tidak lagi ada konflik antar agama.

 

  1. Surah al-anfal ayat 53

 

  1. Redaksi ayat

ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

  1. 53.  (siksaan) yang demikian itu adalah Karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri,[9] dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.

 

  1. Asbab al-nuzul

Sejauh penelusuran kami, tidak diremukan asbab al-nuzul terhadap ayat terkait.

 

  1. Penjelasan ayat

Allah telah menyiksa kaum Quraisy karena kekufurannya terhadap nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan kepada mereka., yaitu ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul di antara mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, namun mereka mendustakan, mengusir dan memeranginya. Hal ini, sebagaimana Allah telah menyiksa umat-umat sebelum mereka karena dosanya. Demikianlah telah berlaku sunnah Allah, bahwa Dia tidak akan mengubah nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah sendiri keadaan, dan karena itulah mereka berhak memperoleh nikmat.

Ayat ini mengisyaratkan, bahwa nikmat-nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada umat dan individu sejak pertama dan untuk selamanya, tegantung pada akhlak, sifat dan barbagai perbuatan yang dituntut oleh nikmat itu. Selama, perkara-perkara ini tetap ada pada mereka. Allah tidak akan mencabutnya dari mereka, sedang mereka tidak melakukan suatu kedzaliman atau dosa sedikit pun. Tetapi, apabila mereka mengubah sendiri akidah. Akhlak, dan perbuatan baik yang seharusnya mereka lakukan, maka Allah pasti mengubah keadaan mereka dan mencabut nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka, sehingga orang yang kaya akan menjadi fakir, orang yang mulia menjadi hina, dan orang yang kuat menjadi lemah.

Demikian pula Allah tidak akan menganakemaskan sebagian bangsa dan umat karena keturunan dan kelebihan sebagian nenek-moyangnya atas yang lain, dengan kenabian atau yang lebih rendah dari itu, sehingga Allah memberi mereka kerajaan dan kepemimpinan, karena para nabi yang menjadi nenek-moyangnya mereka. Seperti keadaan Bani Israil yang tertipu noleh ketergantungan mereka kepada nenek-moyangnya, dan melebihkan dirinya atas seluruh bangsa karena keturunannya itu. Demikian halnya dengan kaum nasrani dan muslimin sesudah itu. Mereka mengikuti tradisi kaum Yahudi yang tertipu oleh agamanya, meski mereka sendiri kaum yang paling menentangnya.[10]

 

 وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Sesungguhnya, Allah Ta’ala Maha Mendengar apa yang dikatakan oleh pendusta-pendusta para Rasul, dan Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat dan apa yang mereka tinggalkan. Dia memberikan balasan kepada mereka atas apa yang mereka katakan dan perbuat; yang baik dibalas dengan kebaikan, dan yang buruk dibalas dengan keburukan pula.

Dalam ayat ini Allah SWT menceritakan kesempurnaan keadilan dalam hukum-Nya. Allah SWT tidak akan mengubah nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada hamba-Nya kecuali disebabkan oleh dosa yang mereka kerjakan.[11]

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut ayat di atas. Pertama: ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial yang berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Ayat tersebut berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan menyangkut orang perorang atau individu. Ini dipahami dari penggunaan kata kaum/masyarakat pada ayat tersebut. Karena itu, ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang, boleh saja perubahan bermula dari seseorang yang ketika ia melontarkan atau menyebar luaskan ide-idenya ia baru sendirian, tetapi perubahan baru terjadi bila ide yang disebarluaskannya menggelinding dalam masyarakat. Demikian terlihat ia bermula dari seseorang dan berakhir pada masyarakat. Penggunaan kata (قَوْمٍ) qaum/kaum juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya bagi kaum muslimin tertentu atau satu suku maupun ras tertentu, tetapi ia berlaku untuk umum, kapan, dan dimanapun kaum itu berada.

Kedua, karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, ini berarti bahwa ketetapan atau sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata bahwa ada pertanggung jawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan terjadi di akhirat kelak.

Ketiga, ayat di atas juga berbicara tentang dua pelaku perubahan. Yang pertama adalah Allah yang mengubah nikmat, seperti bunyi ayat al-anfal ini, atau apa saja yang dialami oleh satu masyarakat atau katakanlah sisi luar/lahiriah masyarakat, seperti bunyi ayat ar-Ra’d. Sedang pelaku kedua adalah manusia dalam hal ini masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah ayat di atas apa yang terdapat dalam diri mereka. [12]

 

  1. Analisis

Manusia adalah para pelaku yang menciptakan sejarah. Gerak sejarah adalah gerak menuju suatu tujuan. Tujuan tersebut berada di hadapan manusia, berada di “masa depan”. Sedangkan masa depan yang bertujuan harus tergambar dalam benak manusia. Dengan demikian, benak manusia merupakan langkah pertama dari gerak sejarah, atau dengan kata lain, “dari terjadinya perubahan”.

Ketika berbicara tentang hukum perubahan, di samping berbicara tentang manusia sebagai totalitas, juga menekankan bahwa manusia-manusia yang dimaksud bukan dalam kedududkannya sebagai wujud perseorangan, tetapi dalam kedudukannya sebagai salah seorang anggota masyarakat. Ini berarti bahwa perubahan yang hanya terjadi pada satu-dua orang yang tidak mampu mengalirkan arus kepada masyarakat, tidak mungkin dapat menghasilkan perubahan masyarakat.

Perubahan yang terjadi pada diri seseorang harus diwujudkan dalam suatu landasan yang kokoh serta berkaitan erat dengannya, sehingga perubahan yang terjadi pada dirinya itu menciptakan arus, gelombang, atau paling sedikit riak yang menyentuh orang-orang lain.

Demikianlah, maka pembinaan individu berbarengan dengan pembinaan masyarakat. Dan, dalam saat yang sama, masing-masing menunjang yang lain, pribadi-pribadi tersebut menunjang terciptanya msyarakat dan masyarakat pun mewarnai pribadi-pribadi itu dengan warna yang dimilikinya.

Karena pentingnya kaitan pribadi-pribadi dengan masyarakat, dan karena Al-Qur’an sejak mula bertujuan mengubah masyarakat, maka ditemukan banyak ayatnya yang berbicara tentang tanggung jawab kolektif (masyarakat) di samping tanggung jawab pribadi sebagaimana ia berbicara tentang ajal (batas usia) manusia dan ajal masyarakat.[13]

 

 

  1. Surah Al-Israa’ ayat 18

 

  1. Redaksi ayat

 

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا (18) وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا (19)

Artinya

  1. Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.

 

  1. Asbab al-nuzul

Diriwayatkan bahwa ada pemuka-pemuka kafir yang menentang, yang mana mereka mengatakan “mana dia adzab itu? Coba datangkan sekarang juga!”. Tantangan mereka kemudian dikabulkan secepatnya oleh Allah. Penentang-penentang tersebut kemudian sebagian besar mati dalam perang Badar dan jadi alas neraka. Mereka mati dengan nama yang tercela. Dan seakan-akan terusir dari dunia. Sebab akhirnya kota Mekkah itu dapat dikuasai oleh Nabi SAW sedangkan kekuasaan mereka telah habis.[14]

 

  1. Tafsir Mufrodat
  • مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ :” barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi)”. Maksudnya, dunia, dengan kata lain kehidupan kampung sekarang.
  • عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ : “maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki”. Maksudnya Kami tidak memberinya sesuatu kecuali apa-apa yang Kami kehendaki, lalu Kami mengadzabnya karena perbuatannya dan akhirnya masuk ke dalam neraka.
  • مَذْمُومًا مَدْحُورًا : “dalam keadaan tercela dan terusir”. Maksudnya, diusir sejauh-jauhnya dari rahmat. Ini adalah sifat orang-orang munafik dan fasiq, orang yang riya dan suka permusuhan. Mereka menggunakan Islam dan ketaatan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi yang segera berupa keuntungan materi dan lain sebagainya.[15]

 

  1. Penjelasan ayat

Ayat di atas menjelaskan bagaimana masyarakat kafir Quraisy yang menghendaki kehidupan dunia dan menentang akan adzab dari Allah. Orang-orang yang demikian, karena cintanya terhadap kehidupan di dunia mereka menjadi takut mati. Mereka berhadapan dengan orang-orang yang beriman dengan jiwa penuh cinta akan Allahdan ingin kehidupan akhirat sehingga mereka tidak takut mati.

Di sinilah kita melihat perbedaan antara kesombongan orang yang kafir, tidak mau percaya, dengan orang yang beriman dengan tenang meyakini apa yang dijanjikan oleh Allah SWT. Di sini diperlihatkan orang kafir menentang Allah serta menghendaki agar adzab diberikan dengan segera terhadap mereka. Dengan tidak mereka sadari bahwa apa yang mereka kehendaki itu berlaku.

Semua mereka yang sombong itu pergi ke perang Badar. Ketika turun dari Mekkah mereka mengira bahwa mereka pasti menang, sebab mereka lebih kuat. Bahkan ummat Islam sendiri pun tidak menyangka untuk menang. Namun pada kenyataannya kaum Quraisy kalah bahkan pemuka-pemuka mereka yang sombong itu tewas sampai 70 orang serta tertawan pula 70 orang.[16]

Orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya membuktikan itu dengan perjuangan, tidaklah bergegas minta balasan atau minta kenyataan “kekarang juga”. Sebab yang merka inginkan bukanlah yang nampak di mata sekarang, tapi yang merka harapkan yaitu hari esok, di akhirat kelak. Maka Allah berfirman dalam ayat selanjutnya:

  1. 19.  Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.

Orang yang menghendaki kehidupan yang baik di akhirat sudah pasti dia berusaha ke arah sana, dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Ia pun bangkit untuk memenuhi tuntunan-tuntunannya, dan dia mendasari usahanyan itu dengan iman. Iman tidak hanya berisi angan-angan kosong, tetapi iman yang manghujam ke dalam hati dan diwujudkan dengan amal perbuatan.

Sesungguhnya hidup hanya untuk tujuan duniawi hanyalah pantas bagi makhluk-makhluk seperti cacing-cacing, binatang reptil, binatang melata, satwa liar, binatang buas dan binatang ternak. Adapun hidup uantuk tujauan akhirat, adalah hidup yang layak bagi manusia yang dimuliakan oleh Allah. Sehingga roh manusia yang merupakan rahasia Allah pada diri manusia itu terangkat ke alam samawi yang tinggi sekalipun kedua kakinya berjalan dimuka bumi.

Namun begitu kedua golongan manusia ini tetap mendapatkan kemurahan dari Allah. Mereka yang mencari dunia akan mendapatkannya, begitupun mereka yang mendambakan akhirat juga akan mendapatkannya. Karena memang kemurahan Allah itu tak mungkin ada yang akan menolak atau menghalanginya, Dia maha mutlaq, semua kehendak tertuju kepadanya.[17]

 

  1. Kontekstualisasi

Ayat di atas jika dipahami dengan baik dan diamalkan bisa menjadi spirit bagaimana seharusnya memperlakukan kehidupan dunia sehingga imbasnya juga akan terlihat bagaimana kita berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Berusaha untuk kehidupan akhirat tidaklah juga berarti menghalangi seseorang untuk menikmati kesenangan duniawi. Tetapi hendaknya dia menerawangkan pandangan hidupnya ke atas horison yang lebih tinggi. Dengan begitu kenikmatan di dunia ini bukanlah menjadi target dan tujuan akhir bagi kehidupannya. Setelah memiliki visi seperti itu maka tidak jadi soal untuk seseorang menikmati kenikmatan duniawi, asalkan ia mampu manguasai diri agar tidak terjebak pada penghambaan kesenaganan duniawi.

Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang diriwaytkan oleh Imam Baihaqi:

حدثني سريج بن يونس ، قال : ثنا عباد بن العوام ، عن هشام ، أو عوف ، عن الحسن ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « حب الدينار رأس كل خطيئة »[18]

Hadits tersebut di atas mengatakan bahwa “mencintai dunia adalah pangkal kejahatan”. Setiap kejahatan, apapun bentuknya pasti terjadi karena adanya suatu sebab. Jika bukan karena dorongan setan pasti karena dorongan hawa nafsu. Atau karena suatu sebab lainnya. Tetapi apabila ditelusuri lebih mandalam, pasti ujung-ujungnya cinta dunia.

Cara untuk mengatasi cinta terhadap dunia adalah zuhud. Zuhud adalah berpaling dari dunia. Zuhud mempunyai bentuk dan hakekatnya. Zuhud tidak mesti harus “benar-benar meninggalkan dunia”, tetapi inti dari zuhud adalah memalingkan hati dari dunia. Sama saja antara menghadap dan berpaling dari dunia. Sama saja –misalnya—menggunakan  baju yang harganya 10 ribu dan 100 ribu, jika tidak ada perbedaan antara mempunyai uang satu juta maupun seratus ribu: hatinya, pearasaannya, kepuasan dan kesenangannya sama saja baginya maka ia telah ada dalam zuhud yang sebenarnya. [19]

Jadi, dengan zuhud kita bisa mengatasi rasa hubb al-dunya, dengan memutuskan rasa cinta terhadap dunia kita telah memutuskan pangkal kejahatan, maka dengan demikian kita bisa hidup tenang dan menciptakan hubungan baik keluarga, tetangga dan lingkungan sehingga bisa menjalin dengan hubnugan baik dengan masyarakat dan masyarakat menjadi tentram dan damai.

 

  1. Surah Az-Zukhruf ayat 52

 

  1. Redaksi ayat

أَمْ أَنَا خَيْرٌ مِنْ هَذَا الَّذِي هُوَ مَهِينٌ وَلَا يَكَادُ يُبِينُ

Artinya:

  1. Bukankah Aku lebih baik dari orang yang hina Ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?

 

  1. Asbab al-nuzul

Sejauh penelusuran kami, tidak diremukan asbab al-nuzul terhadap ayat terkait.

 

  1. Tafsir mufrodat
  • أَمْ أَنَا خَيْرٌ : Bahkan (yang benar) aku adalah bebih baik
  • وَلَا يَكَادُ يُبِينُ : dan yang hampir tidak dapat menjelaskan perkataanya).?” Yakni, di lidahnya terdapat kekakuan.[20]

 

  1. Penjelasan ayat

Ayat ini terkit kisah nabi Musa ketka menghadapi Firaun. Menurut sebagian ahli bahasa, kata am disana berari bal yang artinya tetapi. Dalam ayat tersebut terdapat dua sisi yang saling terkaitkan , yaitu antara Fir’aun yang mengina Musa, dan musa sendiri di satu sisi yang dihina oleh Fir’aun. Ayat ini secara esensial menggambarkan deskripsi historis tentang Nabi Musa dan Fir’aun.[21] Disana dijelaskan bahwa nabi Musa diejek oleh fir’aun karena tidak bisa menjelaskan apa yang telah ia ucapkan. Secara historis, kekakuan nabi Musa ini disebbkan karena pada saat kcil ia memakan sebuah arang yang lumayan panas ketika ia menjambrat jenggot Fir’aun. Pada saat itu Musa hampir di asingkan, namun atas pembelaan istri Fir’aun ia tetap ada disana. Saat itu Musa diuji dengan dua pilihan dan atas wahyu Allah ia memilih arang sebgai bukti bahwa ia masih kecil dan tidak punya pemikiran ketika merenggut jenggot Fir’aun. Akibat itulah yang menyebabkan Musa bicara dengan sulit dan akhirny amnjadi benih ejekan fir’aun.[22]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk  Semarang: Toha Putra, 1987

 

Amrullah ,Abdul Malik (Hamka), Tafsir Al-Azhar jilid 6, Selangor, Malaysia: Pustaka Islamiyah, 2007

 

Al-Qurthubi, Syaikh Imam, Tafsir Al-Qurthubi jilid 10,  terj. Asmuni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

 

Al-Mubarakfury, Shafiyurrahman. “terjemah tafsir Ibnu Katsir”, Bandung: Sygma Creative Media Corp, 2012

 

Shihab, Quraish. “tafsir al-Misbah, pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an”, Jakarta: Lentera Hati, 2002

 

Shihab, Quraish, “Membumikan Al-Qur’an”, Bandung: Mizan Media Utama, 2007

 

Quthb, Sayyid. Fi Zhilaalil Qur’an jilid 7, terj. As’ad Yasin dkk, Beirut: Darusy-syuruq, 1992

 

Al-Jufri, Habib ‘Aly Zainal ‘Abidiin bin ‘Abdirrahman, Ma’alim Al-Suluk Li Al-Mar’ah Al-Muslimah, terj. Asy’ari Khotib, Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 2007


[1] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, terj. Bahrun Abu Bakar,K. Anshori Umar Sitanggal, Tafsir Al-Maraghiy, (Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 367-368.

[2] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 605.

[3] Ibid.

[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 606.

[5] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 607.

[6] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 607-608.

[7] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 608.

[8] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta, Lentera Hati, 2009), hlm. 609.

[9] Allah tidak mencabut nikmat yang Telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.

[10] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Semarang: Toha Putra, 1993) hlm 23-24

[11] Al-Mubarakfury, Shafiyurrahman. “terjemah tafsir Ibnu Katsir”, (Bandung: Sygma Creative Media Corp, 2012).hlm. 27

[12] Quraish Shihab,  “tafsir al-Misbah, pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur’an”, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 570-572.

[13] Quraish Shihab, “Membumikan Al-Qur’an”, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), hlm. 384-386

[14] Abdul Malik Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar jilid 6, (Selangor, Malaysia: Pustaka Islamiyah, 2007) hlm: 4027

[15] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi jilid 10,  terj. Asmuni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008) hlm: 582-583

[16] Abdul Malik Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar jilid 6, hlm 4028

[17] Sayyid Quthb. Fi Zhilaalil Qur’an jilid 7, terj. As’ad Yasin dkk, (Beirut: Darusy-syuruq, 1992) hlm 245

[18] Hadits riwayat Imam Baihaqi no: 10111 dalam kitab Sya’bul Iman Lil Baihaqi, juz 21 hlm 432

[19] Habib ‘Aly Zainal ‘Abidiin bin ‘Abdirrahman Al-Jufri, Ma’alim Al-Suluk Li Al-Mar’ah Al-Muslimah, terj. Asy’ari Khotib, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 2007) hlm 130-131

[20] Al-Qurtubi, tafsir Al-Qurtubi. (pustaka azzam:Jakarta, 2009).

[21] Ibnu katsir, tafsir ibnu katsir,(pustaka imam syafi’i:Jakarta,2003). Hlm 333

[22] Abdul Malik Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar, jilid 9

menyingkirkan batu dari jalan, maka balasannya surga

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar belakang

Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur aturan-aturan para penganutnya. Baik itu dari segi aqidah, akhlaq, ibadah, muamalah dll, bahkan tidak lepas juga dari dimensi sosial. Tentunya semua aturan itu dibuat untuk dijalankan dengan tujuan yang satu, yaitu menggapai rahmat Allah. Dengan rahmat Allah inilah kita bisa menggapai ridho-Nya dan juga sebagai “tiket” untuk masuk surga-Nya.

Dalam kesempatan kali ini dan lewat tulisan ini kami mencoba memaparakn penjelasan salah satu hadits yang berkenaan dengan tema sosial, yang mana dalam hadits tersebut dijelaskan tentang pentingnya menjaga kebrsihan lingkungan demi keamanan ibadah oraang muslim, dan tak tanggung-tanggung Allah SWT  langsung mengganjarnya dengan surga.

 

  1. B.     Rumusan masalah
    1. Bagaimana teks dan terjemah hadits tentang “menyingkirkan dahan di jalan maka balasannya surga” ?
    2. Bagaimana takhrij hadits tersebut ?
    3. Bagaimana tahqiq hadits tersebut ?
    4. Apa saja mufrodat dalam hadits tersebut ?
    5. Bagaimana asbabul wurud hadits tentang “menyingkirkan dahan di jalan maka balasannya surga” ?
    6. Bagaimana syarah hadits “menyingkirkan dahan di jalan maka balasannya surga”?
    7. Bagaimana kontekstuali hadits tentang “menyingkirkan dahan di jalan maka balasannya surga” ?

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. Teks hadits dan terjemah

 

حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ وَاللَّهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ الْمُسْلِمِينَ لَا يُؤْذِيهِمْ فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ[1]

 Seseorang melewati dahan pohon yang berada di atas jalanan, maka ia berkata, “Demi Allah! Sungguh aku akan menyingkirkan dahan ini dari jalan kaum muslimin agar tidak mengganggu mereka.” Orang ini pun dimasukkan ke dalam surga.

 

  1. Takhrij hadits

Sejauh penelusuran kami, bahwa hadits di atas dalam kutub tis’ah hanya terdapat satu hadits saja, yaitu dalam shahih Muslim hadits nomor 4744 dalam bab بَاب فَضْلِ إِزَالَةِ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ

 

  1. Tahqiq hadits

Karena hadits ini diriwayatkan salah salah satu dari shohihain maka hadits ini berkedudukan shohih.

 

  1. Mufrodat
  • ·         مَرَّ رَجُلٌ = Seseorang melewati            
  • ·         بِغُصْنِ شَجَرَةٍ = dahan pohon
  • ·         عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ = yang berada di atas jalanan
  • ·         لَأُنَحِّيَنَّ = aku akan menyingkirkan
  • ·         لَا يُؤْذِيهِمْ = agar tidak mengganggu mereka
  • ·         فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ = Orang ini pun dimasukkan ke dalam surga

 

  1. E.     Asbabul wurud

Sejauh ini dalam penelusuran kami, kami belum menemukan asbabul wurud hadits di atas.

 

  1. F.      Syarah hadits

Hadis ini menjelaskan kisah seorang laki-laki yang sedang berjalan di satu jalan. Dia melihat dahan yang berduri bergelayut di jalan kaum muslimin, maka orang-orang yang lewat merasa tergangu. Dia bertekad untuk memotong dahan itu dan menjauhkannya dari jalan. Tujuannya sebagaimana yang secara nyata dikatakannya, adalah untuk menjauhkan sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. Allah mengampuninya dan memasukkannya ke dalam surga-Nya. Rasulullah melihatnya sedang menikmati kemegahan surga dengan perbuatannya ini.

Laki-laki ini beramal sedikit dan meraih pahala besar. Rahmat Allah sangatlah luas dan karunia-Nya sangatlah agung. Apa yang dilakukan oleh orang ini dianjurkan oleh agama kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar kita melakukan seperti yang dilakukan oleh orang ini. Beliau bersabda, “Jauhkanlah sesuatu yang menganggu dari jalan kaum muslimin. (Albani dalam Silsilah Shahihah no. 2373. Menisbatkannya kepada Abu Bakar bin Abu Syaibah dalam Al-Adab, Abu Ya’la dalam Musnad, Ad-Dhiya dalam Al-Muntaqa. Muslim meriwayatkan dengan maknanya dan diriwayatkan oleh Ahmad). Beliau memberi peringatan keras agar tidak menganggu jalan kaum muslimin. Tentang hal ini beliau bersabda, “Barangsiapa menganggu kaum muslimin di jalan mereka, maka dia memperoleh laknat mereka.” (Al-Bani menisbatkannya dalam Silsilah (5/732), no. 2294, kepada Thabrani Abu Nuaim dalam Akhbari Ashbahan, Abu BakAr Asy-Syafii dalam Musnad Musa bin Ja’far).[2]

Banyak sekali dalil-dalil dalam bidang ini yang menunjukkan akhlak luhur sebagai ciri khas kaum muslimin yang beramal dengan Islam. Mereka berusaha membersihkan jalan-jalan mereka, tidak mengotori dan membuatnya jorok, serta membuang sesuatu yang menganggu darinya. Mereka menjadikannya sebagai tuntunan hidup, berharap darinya pahala tanpa bersikap secara berlebih-lebihan.

Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis

  1. Penjelasan tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin yang mengandung pahala besar dan agung.
  2. Luasnya rahmat Allah dan besarnya pahala-Nya. Allah membalas laki-laki ini dengan balasan yang besar, dengan memasukkannya ke surga lantaran amal yang sedikit, yaitu membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan.
  3. Sejauh mana kaum muslimin menyelisihi ajaran-ajaran agama mereka. Sebagian tidak hanya tidak bersedia membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin, bahkan membuang sampah rumahnya dan sisa makanannya di jalan kaum muslimin.
  4. Pohon yang boleh ditebang adalah yang mengganggu kaum muslimin. Pohon yang berguna bagi kaum muslimin, seperti pohon yang dipakai untuk berteduh, tidak boleh ditebang. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengancam penebangnya dengan api neraka. Dalam hadis, “Penebang bidara akan dibenamkan kepalanya oleh Allah di neraka.” (Dinisbatkan oleh Al-Bani dalam Silsilah Shahihah (2/175), no. 615, kepada Baihaqi dan lain-lainnya).[3]

 

Dalam kisah di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan seseorang yang sedang berjalan di suatu jalan, kemudian menjumpai sebuah pohon yang memiliki banyak duri dan menghalangi jalan kaum muslimin sehingga dapat mengganggu orang-orang yang melewatinya. Kemudian, ia bertekad kuat untuk memotong dan membuangnya dengan tujuan menghilangkan gangguan dari jalan kaum muslimin. Dengan sebab itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan memasukkan ia ke dalam surga-Nya. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya sedang menikmati kenikmatan di surga disebabkan amalannya tersebut.

Sungguh, laki-laki tersebut telah beramal dengan amalan yang terlihat remeh tetapi ia diganjar dengan balasan yang teramat besar. Sungguh, rahmat Allah subhanahu wa ta’ala mahaluas dan keutamaan-Nya mahaagung. Apa yang dilakukan laki-laki tersebut adalah salah satu bagian kecil dari petunjuk dan syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang benar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk berbuat sebagaimana yang telah dilakukan oleh laki-laki tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari jalan Abu Barzah Al-Aslami, beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَ سُوْ لَ الله ِدُ لَّنِي عَلَى عَمَلٍ أَ نْتَفِعُ بِهِ قَالَ:اِعْزِلْ الْأَ ذَى عَنْ طَرِ يْقِ الْمُسْلِمِيْنَ

“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat bermanfaat bagiku.” Beliau menjawab, “Singkirkanlah gangguan dari jalan-jalan kaum muslimin.” (H.r. Muslim, 13:49; Ibnu Majah, 11:78)

Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan memperingatkan dengan keras dari perilaku yang dapat mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ آذَى الْمُسْلِمِينَ فِي طُرُ قِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لَعْنَتُهُمْ

Barang siapa mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, wajib atasnya laknat mereka.”

Unutk penjelasan hadits ini juga kami mengambil penjelasan dari hadits lain yang sudah populer, yang  menerangkan bahwa iman ada 70 cabang lebih, yang paling tinggi yaitu kalimat laailaaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan sesuatu dari jalan. Redaksi haditsnya sebagai berikut:

 

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Dari Abi Hurairah ra., dari Nabi saw. Beliau bersabda, ”Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih; yang paling utama adalah ucapan “lâ ilâha illallâhu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedangkan rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman.”[4]

 

 .      Penjelasan Hadits

Dalam hadits di atas, dijelaskan bahwa cabang yang paling utama adalah tauhid, yang wajib bagi setiap orang, yang mana tidak satu pun cabang iman itu menjadi sah kecuali sesudah sahnya tauhid tersebut. Adapun cabang iman yang paling rendah adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu kaum muslimin, di antaranya dengan menyingkirkan duri atau batu dari jalan mereka.

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam Islam, sekecil apapun perbuatan baik akan mendapat balasan dan memiliki kedudukan sebagai salah satu pendukung akan kesempurnaan keimanan seseorang.

Duri dalam konotasi secara sekilas menunjukkan pada sebuah benda yang hina. Akan tetapi, jika dipahami lebih luas, yang dimaksud dengan duri di sini adalah segala sesuatu yang dapat membahayakan pejalan kaki, baik besar maupun kecil. Hal ini semacam ini mendapat perhatian serius dari Nabi saw. sehingga dikategorikan sebagai salah satu cabang daripada iman, karena sikap semacam ini mengandung nilai kepedulian sosial, sedang dalam Islam ibadah itu tidak hanya terbatas kepada ibadah ritual saja, bahkan setiap ibadah ritual, pasti di dalamnya mengandung nilai-nilai sosial.

Di samping hal tersebut di atas, menghilangkan duri dari jalan mengandung pengertian bahwa setiap muslim hendangkan jangan mencari kemudlaratan, membuat atau membiarkan kemudlaratan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasul saw. yang dijadikan sebuah kaidah dalam Ushul Fiqh:

لاَضَرَارَ وَلاَ ضِرَارَ

Janganlah mencari kemudlaratan dan jangan pula membuat kemudlaratan.

Membiarkan duri di jalan atau sejenisnya berarti membiarkan kemudlaratan atau membuat kemudlaratan baru, jika adanya duri tersebut awalnya sengaja disimpan oleh orang lain.

 

  1. Konteksualisasi hadits

Sebenarnya peristiwa yang tergambarkan dalam haidts tersebut masih banyak kit jumpai di zaman sekarang ini. Jadi, pengamalannya masih sama yaitu menyingkirkan sesuatu apapun yang menjadi penghalang di jalan yang mengganggu keamanan orang muslim (beribadah) dengan niat tulus karena Allah SWT, maka akan diganjar dengan Surga.

Pada saat konteks sekarang ini ada yang muncul antara keamanaan atau mengganggu yaitu polisi tidur. Polisi tidur bagi masyarkat (sekitar) yang membuatnya dianggap membuat nyaman, karena membantu mengendalikan laju kendaraan yang lalu-lalan dan demi keamanan juga. Tapi bagi orang atau pengguna jalan ini di anggap penghambat perjalanan. Olehnya itu boleh saja jika ingin membuat polisi tidur, asalkan jangan terlalu tinggi agar tidak membahyakan para pengguna jalan raya khusus nya yang menggunakan kenderaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

  1. 1.  Penjelasan tentang keutamaan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin yang mengandung pahala besar dan agung.
  2. Luasnya rahmat Allah dan besarnya pahala-Nya. Allah membalas laki-laki ini dengan balasan yang besar, dengan memasukkannya ke surga lantaran amal yang sedikit, yaitu membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan.
  3. Sejauh mana kaum muslimin menyelisihi ajaran-ajaran agama mereka. Sebagian tidak hanya tidak bersedia membuang sesuatu yang mengganggu dari jalan kaum muslimin, bahkan membuang sampah rumahnya dan sisa makanannya di jalan kaum muslimin.
    1. Pohon yang boleh ditebang adalah yang mengganggu kaum muslimin. Pohon yang berguna bagi kaum muslimin, seperti pohon yang dipakai untuk berteduh, tidak boleh ditebang. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengancam penebangnya dengan api neraka. Dalam hadis, “Penebang bidara akan dibenamkan kepalanya oleh Allah di neraka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Software maktabah syamilah

Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Pustaka Yassir, 2008

http://abukarimah.wordpress.com/2011/10/05/menyingkirkan-gangguan-dari-jalan/. Di akses tgl 12-12-2012 pukul 20:41

http://118.97.239.242/hadist/-kaca=temahadist&imam=muslim&ID_Bab=1255.htm di akses tgl 12-12-2012, pukul 20;39

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Software maktabah syamilah

[3] Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, Shahih Qashashin Nabawi, atau Ensklopedia Kisah Shahih Sepanjang Masa, terj. Izzudin Karimi, Lc. (Pustaka Yassir, 2008), hlm. 274-277

isim nakirah dan ma’rifah dalam al-qur’an

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan mi’jizat yang terbesar. Salah satu kemukjizatan Al-Qur’an ialah tata bahsanya yang tinggi. Tata bahasa Al-Qur’an sangat berkaitan erat dengan  kaidah bahasa Arab, seperti yang telah di bahas kemarin; kaidah isim dan fi’il, kadiah penggunaan amar dan nahi, kaidah istifham, dll.

Dalam tulisan ini kami mencoba memaparkan tentang salah satu kaidah bahasa Arab yang banyak terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu kaidah nakirah dan ma’rifah. Kaidah nakirah dan ma’rifah sangat penting dipelajari dan dikuasai oleh seorang mufasir, karena pemahaman suatu ayat atau kalimat kadang tergantung kepada penguasaan terhadap kedua komponen tersebut. 

 

Rumusan Masalah

1. Bagaimana penggunaan isim nakirah dalam Al-Qur’an ?

2. Bagaimana penggunaan isim ma’rifah dalam Al-Qur’an ?

3. Bagaimana pengulanagan isim nakirah dan ma’rifah dalam Al-Qur’an ?

 
  

 

 

 

 

 

 

 

 

Ta’rif dan Tankir (Isim Ma’rifah dan Nakirah)

.                   Pengertian

At-Ta’aarif dan at-Tanaakir adalah bentuk plural dari Ta’riif dan Tankiir. Kedua kata ini berasal dari bahasa Arab dan istilah ini biasa disebut dengan Ma’rifah dan Nakirah.  Kedua istilah ini adalah sebutan bagi al-Ism (kata benda). Yang pertama menunjuk kepada sesuatu yang sudah jelas dan terbatas; sementara yang kedua kebalikannya, yaitu menunjuk kepada suatu benda secara umum tanpa memberikan batasan yang jelas dan tegas. Atau dengan ungkapan lain, Ma’rifah menunjuk kepada individu secara khusus sedang Nakirah menunjuk kepada jenis dari individu tersebut.

Kata (محمد) misalnya, adalah ism ma’rifah karena ia menunjuk kepada seseorang secara jelas dan tegas, sebaliknya kata (رجل)  adalah ism nakirah karena tidak menunjuk kepada seseorang yang jelas, melainkan hanya menunjukkan jenis laki-laki.

 

A. Penggunaan Isim Nakirah

Apabila pemakaian ال pada suatu kata (ism jenis) memberikan pengaruh terhadap pengertian kata tersebut, maka tidak memakainya  juga ada pengaruh terhadap konotasi kata itu. Kata ism yang tidak memakai ال seperti itulah yang dimaksud dengan ism nakirah dalam sub bahasan ini. Ism Nakirah adalah ism yang menunjukkan kepada benda yang tidak tentu. Di dalam al-Quran pemakaian ism ini memiliki beberapa fungsi, antara lain:

 

Penggunaan  isim nakirah ini mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:

1. Untuk menunjukkan satu, seperti pada وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى (yasin [36]:20). “Rjulan” maksudnya adalah seorang laki-laki.

2. Untuk menunjukkan macam, seperti: وَلَتَجِدَنَّهُمْ أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ (al-baqarah[2]:96), yakni suatu macam dari kehidupan, yaitu mencari tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.

3. Untuk menunjukkan “satu” dan ”macam” sekaligus. Misalnya pada: وَاللَّهُ خَلَقَ كُلَّ دَابَّةٍ مِنْ مَاءٍ (an-nuur [24]:45). Maksudnya, setiap macam dari segala macam binatang itu berasal dari suatu macam air dari setiap individu (satu) binatang itu berasala dari satu nutfah.

4. Untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, seperti: فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ (al-baqarah [2]:279). Maksudnya “harbin” ialah peperangan yang besar atau dahsyat.

5. Untuk menunjukkan arti banyak, seperti pada ayat أَئِنَّ لَنَا لَأَجْرًا (asy-syu’ara’[26]:42). Maksudnya ialah “ajran” ialah pahala yang banyak.

6. Untuk membesarkan dan menunjukkan banyak (gabungan antara point no.4 dan no.5). misalnya: وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ (fatir[35]:4). Maksudnya, rasul-rasul yang mulia dan banyak julahnya.

7. Untuk meremehkan, misalnya: مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ (‘abasa[80]:18). Yakni, dari sesuatu yang hina, rendah, dan teramat remeh.

8. Untuk menyatakan sedikit, seperti dalam ayat: وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ (bara’ah [9]:72). Maksudnya, keridaan yang sedikit dari Allah itu lebih besar dari pada surga, karena keridaan itu pangkal segala kebahagiaan.

 

B. Penggunaan Ma’rifah

Ma’rifah

Yang dimaksud term Ma’rifah dalam sub bahasan ini, khusus mengenai Ma’rifah yang menggunakan alif lam (ال), bukan kata-kata yang Ma’rifah secara umum. Untuk kajian ulum al-Quran, maka yang akan dikaji dalam bahasan kali ini adalah faedah-faedah atau tujuan pemakaian kata-kata yang ma’rifah dan nakirah dalam al-Quran.

 

Penggunaan isim ma’rifah (ta’rif) mempunyai beberapa fungsi yang berbeda sesuai dengan macamnya.

1. Ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhtab ataupun ga’ib.

2. Ta’rif dengan ‘alamiyah (nama) berfungsi untuk:

a. Menghadirkan pemilik nama itu dalam hati pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas.

b. Memuliakan, seperti pada ayat: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ (al-Fath [48]:29)

c. Menghinakan, seperti pada ayat: تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (al-Lahab [111]:1)

3. Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk) berfungsi untuk:

a. Menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti: هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ (Lukman [31]:11)

b. Menjelaskan keadaannya dengan menggunakan “kata tunjuk jauh”, seperti: وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (al-Baqarah [2]:5)

c. Menghinakan dengan memakai kata tunjuk dekat, seperti: وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ (al-‘Ankabut [29]:64)

d. Memuliakan dengan memakai kata tunjuk jauh, seperti pada: ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (al-Baqarah [2]:2)

Mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang ditunjuk (musyar ilaih) yang diberi beberapa sifat itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah isim isyarah tersebut. Misalnya: 

هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5)   (al-Baqarah [2]:2-5)

4. Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung) berfungsi:

a. Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupi atau disebabkan hal lain, seperti pada firman Allah: وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ لَكُمَا (al-Ahqaf [46]:17) dan firman-Nya: وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ (Yusuf [12]:23)

b. Untuk menunjukkan arti umum, seperti: وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا (al-‘Ankabut [29]:69)

c. Untuk meringkas kalimat, seperti: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ آَذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللَّهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا (al-Ahzab [33]:69). Andaikata nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan tentunya pembicaraan (kalimat) itu menjadi panjang.

 

5. Ta’rif dengan  alif-lam (al) berfugsi:

a. Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui karena telah disebutkan (ma’hud zikri), seperti: اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ (an-Nuur [24]:35)

b. Untuk menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi pendengar seperti: لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ (al-Fath [48]:18)

c. Sesuatu yang sudah diketahui karena ia hadir pada saat itu seperti: الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ (al-Ma’idah [5]:3)

d. Untuk mencakup semua satuannya (istigraqul-afrad), seperti: إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (al-‘Asr [103]:2)

e. Untuk menghabiskan segala karakteristik jenis, seperti: ذَلِكَ الْكِتَابُ (al-Baqarah [2]:2). Maksudnya, kitab yang sempurna petunjuknya dan mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya.

f. Untuk menerangkan esensi, hakikat dan jenis, seperti dalam ayat: وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ (al-Anbiya’ [21]:30)

 

Pengulangan Kata Benda (Isim)

Apabila sebuah isim disebutkan dua kali maka dalam hal ini ada empat kemungkinan, kedua-duanya ma’rifah, kedua-duanya nakirah, yang pertama nakirah sedang yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah sedangkan yang kedua nakirah.

1) Apabila kedua-duanya ma’r-fah maka pada umumnya yang kedua adalah hakikat yang pertama. Misalnya: اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ . صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (al-Fatihah [1]:6-7)

2) Jika kedua-duanya nakirah, maka yang kedua biasanya bukan yang pertama. Misalnya: اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً (ar-Ruu’m [30]:54). “Du’f” pertama adalah nutfah (sperma), “du’f” kedua tufuliyah (masa bayi), sedang “du’f” yang ketiga adalah syaikhukhah (masa lanjut usia)

Kedua macam ini telah terkumpul pada ayat.  إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (al-Insyirah [94]:5-6). Oleh karena itu dalam sebuah riwayat Ibn Abbas berkata: “Satu ‘usr (kesulitan) tidak akan mengalahkan dua yusr (kemudahan). Hal ini karena kata usr’ yang kedua diulangi dengan al (ma’rifah), maka ia adalah ‘usr yang pertama, sedang ‘yusr’ yang kedua bukan ‘yusr’ yang pertama karena ia diulangi tanpa al.”

3) Jika yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah maka yang kedua adalah hakikat yang pertama, karena itulah yang sudah diketahui. Misalnya dalam ayat:. فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا (al-Muzzammil [73]:15-16)

4) Jika yang pertama ma’rifah sedang yang kedua nakirah, maka apa yang dimaksudkan bergantung pada nakirah. Terkadang qarinah menunjukkan bahwa keduanya itu berbeda, seperti firman Allah: وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ (ar-Rum[30]:55). Terkadang pula ia menunjukkan bahwa keduanya sama, seperti: وَلَقَدْ ضَرَبْنَا لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْقُرْآَنِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا (az-Zumar [39]:27-28)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENUTUP 

 

Kesimpulan

Setelah melalui penjelasan di atas di atas maka dapat di tarik bebrapa kesimpulan:

1. Pengunaan isim nakirah ada beberapa fungi :

a. Untuk menunjukkan satu.

b. Untuk menunjukkan macam

c. Untuk menunjukkan “satu” dan ”macam” sekaligus.

d. Untuk membesarkan (memuliakan) keadaan, 

e. Untuk menunjukkan arti banyak.

f. Untuk meremehkan.

g. Untuk menyatakan sedikit,

2. Pengunaan isim ma’rifah ada beberapa fungsi:

a. Ta’rif dengan isim damir (kata ganti) karena keadaan menghendaki demikian, baik damir mutakallim, mukhtab ataupun ga’ib.

b. Ta’rif dengan ‘alamiyah (nama).

c. Ta’rif dengan isim isyarah (kata tunjuk).

d. Ta’rif dengan isim mausul (kata ganti penghubung).

e. Ta’rif dengan  alif-lam (al).

 

Setelah dipaparkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwasanya kaidah-kaidah kebahasaan yang salah satunya adalah Ma’rifah-Nakirah, sangatlah besar pengaruhnya dalam rangka mengambil makna dari sebuah penafsiran al-Qur’an. Apa yang berlaku dalam kaidah bahasa Arab, secara umum juga berlaku dalam al-Qur’an, karena ia sebagaimana kita ketahui memang diturunkan dalam bahasa Arab. Jika tanpa menguasai bahasa Arab secara baik, seseorang akan sulit dalam memahami al-Qur’an.  

 

 

 

Daftar Pustaka

Qattan, manna’ul.mabahits fii ‘uluum Al-Qur’an terj. Mudzakir (jakarta: Litera Antarnusa, 1994),

 

Baidan,Nashruddin Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005)   

http://anamko.blogspot.com/2012/10/marifah-dan-nakirah-dalam-al-quran.html. di akses tanggal 25-10-2012 pukul 11:50

 

 

 

 

 

 

 

 

Fahsyaa’ dalam Al-Qur’an

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. A.    Latar belakang

Al-Qur’an merupakan pedoman dan petunjuk bagi ummat manusia pada umumnya dan ummat muslim pada khususnya. Di dalam Al-Qur’an itu sendiri tidak ada keraguan sebagaimana difirmankan allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2 “(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya” oleh karena itu kita sebagai ummat muslim wajib mengikutinya. Dalam AL-Qur’an sendiri ada beberapa dimensi yang dijlaskan, baik itu dari segi aqidah / tauhid, hukum, sejarah / kisah-kisah. Melalui tulisan ini kami mencoba melihat AL-Qur’an dari segi ilmu hukumnya. Dan dalam kesempatan kali ini kami mencoba menguraikan tentang hukum-hukum yang berkenaan dengan fahsya dalam AL-Qur’an. Tentang pengertian fahsya, dan seperti apa fahsya yang dimaksud dalam AL-Qur’an.

  1. B.     Rumusan masalah
    1. Apa penegetian fahsya?
    2. Apa saja ayat-ayat tentang fahsya dalam AL-Qur’an?
    3. Bagaimana asbab al-nuzul ayat-ayat tentang fahsya?
    4. Bagaimana tafsir ayat-ayat tentang fahsya?

                   

 BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian fahsya.

Fahsya ialah bahasa Arab yang jika di bahasa Indonesiakan artinya ialah “keji”.

  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

ke·ji a sangat rendah (kotor, tidak sopan, dsb); hina: menipu kawan adalah perbuatan yg –; ber·ke·ji v 1 menghinakan diri; merendahkan martabat diri; 2 mau melakukan (berbuat) sesuatu yg keji, hina, dsb; apakah pekerjaanmu kemari hanya untuk ~ ?;~ di·ri v berkeji;me·nge·ji·kan v 1 menghinakan; menistakan; memburukkan; 2 menganggap (memandang) keji; mengharamkan; mencela;ke·ke·ji·an n perihal yg bersifat, berciri keji; perbuatan (kelakuan dsb) yg keji; keburukan; kehinaan: keseluruhan tingkah lakunya memancarkan ~ , ketamakan, kebodohan, dan kekejaman.

  1. Terjemahan DEPAG (Depatremen Agama)

Yang dimaksud perbuatan keji (faahisyah) ialah dosa besar yang mana mudharatnya tidak hanya menimpa diri sendiri tetapi juga orang lain, seperti zina, homoseksual. Menganiaya diri sendiri ialah melakukan dosa yang mana mudharatnya hanya menimpa diri sendiri baik yang besar atau kecil seperti syirik, thawaf telanjang di sekeliling Ka’bah dan sebagainya.

  1. Menurut Jumhur Mufassiriin

Yang dimaksud perbuatan keji ialah perbuatan zina, sedang menurut pendapat yang lain ialah segala perbuatan mesum seperti: zina, homo seks dan yang sejenisnya. Menurut pendapat Muslim dan Mujahid yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita).[1]

  1. Ayat-ayat fahsya dalam AL-Qur’an
    1. Q.S Al-baqarah 168-169

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ .إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ[2]

Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu Hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (al-baqarah 168-169).

  1. Asbab Al-Nuzul

Dikatan bahwa ayat ini diturunkan pada suku Tsaqaf, suku Khuzaah, dan suku Bani Mudlij, karena mereka mengharamkan diri mereka sendiri untuk memakan beberapa hewan (makanan) yag dihalalkan.[3]

  1. Tafsir ayat

Firman Allah SWT وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ “Janganlah kamu mengikuti langkah-lanhgkah setan”. Kata خُطُوَاتِ adalah bentuk jamak dari kata khathwah dan ktuthwah yang maknanya. Pentasrifan seperti ini juga disetujui oleh Al-Farra’ ia lalu menambahkan: artinya adalah jarak antara dua kaki. Makna dari kalimat ini adalah, janganlah kamu megikuti langkah dan perbuatan setan. Dan setiap perbuatan yang tidak ada adalam syari’at, maka perbuatan tersebut nisbatnya terhadap setan. Berbeda dengan Mujahid yang mengartikannya dengan: kesalahan-kesalahan setan. Saya (Al-Qurtubi) mengatakan: yang benar adalah lafadz ini sangat umum mencakup segala hal yang tidak ada dalam syari’at Islam yang biasa disebut dengan bid’ah dan perbuatan maksiat. Firman Allah SWT  .إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَاءِsesungguhnya setan itu menyuruh kamu berbuat jahat dan keji.” Makna dari kata السُّوءِ itu sendiri adalah membuat sedih. Kata ini di gunakan untuk makna jahat atau buruk karena jika ia diperbuat maka ia akan membuat sedih dan akibat yang akan diterimanya. Dalam ayat lain disebutkan سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا “orang-orang kafir itu menjadi muram” (Al-Mulk: 27) Sedangkan kata الْفَحْشَاء makna asalnya adalah buruk rupa, kemudian kata ini digunakan untuk keburukan yang lainnya. Adapun syari’at ini diturunkan untuk menetapkan segala sesuatu yang baik dan buruknya, dan setiap perbuatan yang dilarang oleh syari’at maka perbuatan itu adalah sesuatu yang buruk. Berbeda dengan muqatil yang mengatakan: seluruh kata fahsya dalam Al-qur’an menunjukkan makna zina, kecuali firman Allah SWT:  الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan” (Al-baqarah 268) Al-qurthubi mengatakan: perbedaan antara السُّوء dan الْفَحْشَاءِ pada ayat ini adalah: kata As-suu’ menunjukkan pada perbuatan buruk yang tidak ada had (hukuman duniawi)nya sedangkan kata ­Al-fahsyaa’ memiliki had. Pendapat ini diriwayatkan dari ibnu Abbas dan yang lainnya.[4]  

  1. Q.S Al-An’am ayat 151

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ[5]

Artinya: Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (maksudnya yang dibenarkan oleh syara’ seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya)”. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). 

  1. Tafsir ayat:

Ayat ini memerintahkan Rasulullah SAW mengajak kaum musyrikin meninggalkan posisi mereka yang hina yang tercermin pada kebejatan moral dan penghambaan diri kepada selain Allah, menuju ketinggian derajat dan keluhuran budi pekerti. Katakanlah wahai Nabi Muhammad kepada mereka, ”marilah menuju kepadaku beranjak meninggalkan kemusyrikan dan kebodohan menuju ketinggian dan keluhuran budi dengan mendengar dan memperkenankan apa yang ku bacakan, yakni ku sampaikan kepada kamu dari apa yang aku haramkan, yakni dilarang oleh Tuhan pembimbing kamu atas kamu yaitu:[6] Pertama: dan yang paling utama adalah janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya Kedua: berbuat baiklah secara dekat dan melekat kepada kedua orang ibu bapak  secara khusus dan istimewa dengan berbuat kebaktian yang banyak lagi mantap atas dorongan rasa kasih saying kepada mereka. Ketiga: janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kamu sedang ditimpa kemiskinan, dan mengakibatkan kamu menduga bahwa jika mereka lahir, kamu akan memikul beban tambahan. Jangan kahawtir atas diri kamu, bukan kamulah sumber rezeki, tapi Kami-lah sumber nya. Kami akan memberi yakni menyiapkan sarana rezeki kepada kamu sejak saat ini dan juga Kami akan siapkan kepada mereka yang penting adalah kamu berusaha mencari nya. Keempat: dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan keji, seperti membunuh, berzina, baik yang Nampak diantaranya, yakni yang kamu lakukan secara terang-terangan, maupun yang tersembunyi, seperti memiliki pasangan “simpanan” tanpa diikat oleh akad nikah yang sah. Kelima: dan jangan kamu membunuh jiwa yang memang diharamkan Allah membunuhnya kecuali berdasarkan suatu sebab yang benar, yakni berdasarkan ketetapan hukum yang jelas. Demikian ini yang diperintahkan-Nya yank oleh Tuhan dan nalar yang sehat kemapada kamu suoaya kamu memahami dan menghindari larangan-larangan itu.[7]

  1. Q.S. An-nahl ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.     Asbab Al-Nuzul Asbab nuzul ayat ini ada terdapat dalam Hadits yang diriwayatkan olehImam Ahmad dalam Musnad nya dengan nomor hadits 2770, yakni:

2770 – حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ حَدَّثَنَا شَهْرٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ قَالَ بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِفِنَاءِ بَيْتِهِ بِمَكَّةَ جَالِسٌ إِذْ مَرَّ بِهِ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَكَشَرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا تَجْلِسُ قَالَ بَلَى قَالَ فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَقْبِلَهُ فَبَيْنَمَا هُوَ يُحَدِّثُهُ إِذْ شَخَصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبَصَرِهِ إِلَى السَّمَاءِ فَنَظَرَ سَاعَةً إِلَى السَّمَاءِ فَأَخَذَ يَضَعُ بَصَرَهُ حَتَّى وَضَعَهُ عَلَى يَمِينِهِ فِي الْأَرْضِ فَتَحَرَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ جَلِيسِهِ عُثْمَانَ إِلَى حَيْثُ وَضَعَ بَصَرَهُ وَأَخَذَ يُنْغِضُ رَأْسَهُ كَأَنَّهُ يَسْتَفْقِهُ مَا يُقَالُ لَهُ وَابْنُ مَظْعُونٍ يَنْظُرُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ وَاسْتَفْقَهَ مَا يُقَالُ لَهُ شَخَصَ بَصَرُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السَّمَاءِ كَمَا شَخَصَ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَأَتْبَعَهُ بَصَرَهُ حَتَّى تَوَارَى فِي السَّمَاءِ فَأَقْبَلَ إِلَى عُثْمَانَ بِجِلْسَتِهِ الْأُولَى قَالَ يَا مُحَمَّدُ فِيمَ كُنْتُ أُجَالِسُكَ وَآتِيكَ مَا رَأَيْتُكَ تَفْعَلُ كَفِعْلِكَ الْغَدَاةَ قَالَ وَمَا رَأَيْتَنِي فَعَلْتُ قَالَ رَأَيْتُكَ تَشْخَصُ بِبَصَرِكَ إِلَى السَّمَاءِ ثُمَّ وَضَعْتَهُ حَيْثُ وَضَعْتَهُ عَلَى يَمِينِكَ فَتَحَرَّفْتَ إِلَيْهِ وَتَرَكْتَنِي فَأَخَذْتَ تُنْغِضُ رَأْسَكَ كَأَنَّكَ تَسْتَفْقِهُ شَيْئًا يُقَالُ لَكَ قَالَ وَفَطِنْتَ لِذَاكَ قَالَ عُثْمَانُ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ آنِفًا وَأَنْتَ جَالِسٌ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَا قَالَ لَكَ قَالَ { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنْ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } قَالَ عُثْمَانُ فَذَلِكَ حِينَ اسْتَقَرَّ الْإِيمَانُ فِي قَلْبِي وَأَحْبَبْتُ مُحَمَّدًا

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid telah menceritakan kepada kami Syahr telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abbas dia berkata; “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tengah duduk-duduk di serambi depan rumahnya di Makkah, tiba-tiba Utsman bin Mazh’un melewatinya, ia tersenyum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya: “Maukah kamu duduk?” dia menjawab; “Tentu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam duduk menghadap ke arahnya, ketika beliau sedang berbincang-bincang dengannya, tiba- tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat pandangannya ke langit, beliau memandang sesaat ke arah langit, lalu menurunkan pandangannya hingga mengarahkannya ke tanah di sebelah kanannya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan teman duduknya yaitu Utsman. Lalu beliau mulai mengangguk-angukkan kepalanya seolah-olah menyatakan mengerti apa yang di katakana kepadanya, sementara Ibnu Mazh’un melihatnya. Setelah menyelesaikan keperluannya dan memahami apa yang di katakannnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat pandangannya ke arah langit seperti pertama kali, lalu pandangannya mengikuti (yakni bergerak) hingga siran di langit, lalu beliau kembali kepada Utsman di tempat duduknya semula. Utsman berkata; “Wahai Muhammad, semenjak aku duduk bersamamu dan datang kepadamu, aku belum pernah melihatmu melakukan seperti yang engkau lakukan tadi pagi.” Beliau menjawab: “Memang kamu melihatku melakukan seperti apa?” dia menjawab; “Aku melihatmu mengangkat pandanganmu ke langit, kemudian menempatkannya ke sebelah kananmu, lalu angkau menghampirinya dan meninggalkanku, lalu engkau mulai mengangguk-anggukkan kepalamu seolah-olah engkau memahami sesuatu yang di katakana kepadamu.” Beliau bersabda: “Engkau ingat itu?” Utsman menjawab; “Ya.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tadi di datangi oleh utusan Allah ketika engkau sedang duduk.” Utsman berkata; “Utusan Allah?” beliau menjawab; “Benar.” Ia bertanya; “Lalu apa yang di katakannya kepadamu?” beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah menyuruh untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” QS An Nahl; 90. Utsman mengatakan; “Itulah saat iman bersemayam di hatiku dan aku mencintai Muhammad.”   Penjelasan ayat: Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa ayat ini mengandung bebrapa penjelasan, antara lain: Pertama: firman Allah SWT إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ “sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kabaikan.” Diriwayatkan dari Utsman bin Mazh’un dia berkata, ketika turun ayat ini aku membacakannya pada ‘Aly bin Abi Thalib R.A sehingga ia takjub dan berkata ‘wahai keluarga Ghalib, ikutilah maka kalian semua akan beruntung. Demi Allah, sungguh Allah mengutusnya untuk memerintahkan kalian semua agar berakhlak mulia.[8] Sedangkan Ibnu Mas’ud berkata, “ini adalahayat yang paling komperhensif di antara ayat-ayat AL-Qur’an, yang sangat bagus untuk ditaati dan tidak mengabaikannya. Kedua: para ulama berbeda pendapat dalam penakwilan kata adil  dan  ihsan. Ibnu Abbas berkata: Adil adalah tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sedangkan ihsan adalah, menunaikan semua yang fardhu. Ada yang mengatakan Adil adalah fardhu, sedangkan ihsan ialah ibadah nafilah. Ibnu Athiyah berkata: adil adlah semua yang fardhu, baik dalam masalah aqidah atau syai’at, menunaikan amanah, meninggalkan kezhaliman dan berkesadaran, serta memberikan hak. Sedangkan ihsan adalah melakukan segala yang sunnah. Di antara suatu perkara yang seutuhnya sunnah dan di antaranya lagi fardhu. Hanya saja kadar balasannya termasuk sikap adil, sedangkan penambahan dari batasan balasan termasuk ihsan. Ketiga: firman Allah SWT وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى “memberi kepada kaum kerabat” maksudnya ialah keluarga dekat. Dia mengatakan memberi mereka harta, sebagai mana firman Allah وَآَتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ “dan berikanlah kepada keluarga-keluarga trdekat akan haknya..” (Q.S Al-Israa’ ayat 26). Maksudnya engaku menyambung tali silaturrahim kepapda mereka. Ini termasuk dalam bahasan penyandaran sesuatu yang mandub kepada sesuatu yang wajib. Dengan inilah Asy-Syafi’i berdalil dalam pemberian budak  mukatab (budak yang dijanjikan merdeka oleh tuannya dengan bayaran secara mencicil). Keempat: firman Allah وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ “dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”. Al-fahsya adalah segala bentuk keburukan, baik merupakan perkataan maupun perbuatan. Ibnu Abbas berkata, Al-Fahsyu adalah zina. Al-mungkar ialah apa-apa yang diingkari oleh syari’at dengan adanya larangan melakukannya. Ini bersifat umum mencakup segala macam kemaksitan, kehinaan, kenistaan, dan segala macamnya. Dikatakan bahwa ia adalah kesyirikan. Sedangkan Al-baghyu adalah kesombongan, kezhaliman, kedengkian, dan permusuhan. Hakikatnya ialah melampaui batas. Semua ini masuk ke dalam mungkar. Akan tetapi Allah menyebutnya sacara khusus sebagai wujud perhatian terhadapnya karena bahaya besar yang ditimbulkannya. Kelima: ayat ini mengandung perintah amar ma’ruf nahi mungkar.[9]                                      

 

BAB III

PENUTUP

Demikianlah pembahasan lafal fahsya’ dan munkar dalam Al Qur’an yang mulia. Allah yang maha sempura tidak mungkin secara kebetulan menciptakan alqur’an dengan segala kesempurnaanya. Bahakan dalam tiap detil kata-katanya. Pasti ada maksud tersembunyi dan rahasia yang terkandung dalam setiap surat, ayat, bahkan dalam tiap penggalan suku katanya. Hal ini memicu kita untuk terus belajar banyak dari Al Qur’an sebagai kitab pegangan hidup yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Yang di dalamnya terdapat kebenaran mutlak sebagai petunjuk kebahagiaan dalam mengarungi samudra kehidupan.  


[2] Software maktabah syamilah
[3] Syaikh Imam Al-Qurthubi, tafsir AL-QURTHUBI jilid 2, terj: fathurrohman, Ahmad Hotib, ed: Mukhlis B. Mukti. (Jalarta, Pustaka Azzam, 2007) hlm :480
[4] Syaikh Imam Al-Qurthubi, tafsir AL-QURTHUBI jilid 2, terj: fathurrohman, Ahmad Hotib, ed: Mukhlis B. Mukti. (Jalarta, Pustaka Azzam, 2007) hlm :486
[5] Software maktabah Syamilah
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir AL-MISHBAH pesan, kesan, dan keserasian AL-Qur’an  jilid 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm: 338
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir AL-MISHBAH pesan, kesan, dan keserasian AL-Qur’an  jilid 4 (Jakarta: Lentera Hati, 2007) hlm: 340
[8] Syaikh Imam Al-Qurthubi, tafsir AL-QURTHUBI jilid 10, terj: fathurrohman, Ahmad Hotib, ed: Mukhlis B. Mukti. (Jalarta, Pustaka Azzam, 2007) hlm 410
[9] Syaikh Imam Al-Qurthubi, tafsir AL-QURTHUBI jilid 10, terj: fathurrohman, Ahmad Hotib, ed: Mukhlis B. Mukti. (Jalarta, Pustaka Azzam, 2007) hlm 419